PETA TEATER INDONESIA
Oleh: Putu Wijaya
Bertolak Dari Tradisi
Sebelum berdirinya TIM
(1968), kehidupan teater tradisi dan teater modern di Indonesia, terpisah.
Teater modern berkiblat pada teater Barat, sedang teater tradisi merupakan
kegiatan yang erat hubungannya dengan upacara, agama, serta ritual-ritual lain.
Tetapi ketika TIM menyediakan kesempatan semuanya bersentuhan terjadi hubungan.
Lewat
berbagai festival kesenian tradisi, modern, kontemporer serta bandingan aneka pertunjukan dari mancanegara, tiba-tiba teater tradisi dan teater modern kawin.
berbagai festival kesenian tradisi, modern, kontemporer serta bandingan aneka pertunjukan dari mancanegara, tiba-tiba teater tradisi dan teater modern kawin.
Pertunjukan-pertunjukan
Bengkel Teater,Teater Kecil, Teater Populer, Study Club Teater Bandung (STB),
Teater Mandiri, Teater Sardono, Teater Koma, Bumi Teater, Teater Gandrik serta
teater-teater peserta Festival Teater Remaja Jakarta (FTRJ) sejak tahun l974,
merupakan bukti persetubuhan itu. Naskah-naskah teater yang lahir di dalam
Sayembara Naskah Drama DKJ dan semua pertunjukan di TIM, adalah hasil
“pergaulan” itu. Apa yang terjadi sejak tahun l968 sampai sekarang, membuahkan
sebuah sejarah. Dan sejarah ini menjadi “tradisi baru”, buat kehidupan teater
Indonesia. Itulah referensi untuk memahami, mengerti dan menikmati teater
Indonesia kini.
Banyak orang mencoba
mengkaitkan isi teater Indonesia dengan perjalanan teater Barat. Sebagai
akibatnya teater kontemporer Indonesia terasa palsu,karena hanya merupakan
bayangan teater Barat. Seandainya bukan kehidupan teater Barat yang dijadikan
titik tolak, tetapi tradisi baru yang sudah lahir itu, persoalannya akan lain.
Teater Indonesia memiliki jatidiri sendiri yang bertolak dari akarnya, berbeda
dengan teater di Singapura atau Malaysia yang lebih condong ke teater Barat.
Apa yang dilakukan oleh
teater kontemporer Indonesia sekarang,adalah perjalanan lanjutan dari langkah
besar yang sudah dilakukan oleh Rendra, Arifin, Teguh Karya, Suyatna Anirun,
Jim Liem, Sardono dll. Mereka sudah menghidupkan jiwa-raga tradisi yang akan
sesat kalau dicari asal muasalnya ke Barat. Memang kegiatan teater di Indonesia
juga ada yang berkiblat ke teater Barat sebagaimana yang
dilakukan ATNI, lewat Asrul Sani, Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Tetapi yang
lebih tegas dan deras adalah akar tradisi.
Tradisi teater di Indonesia
sangat kaya. Masyarakat penonton terlatih menerima berbagai jenis pertunjukan.
Bahkan idiom-idiom baru yang dianggap modern, dapat diapresiasi dengan baik,
asal kemasannya “ramah”. Dalam istilah “tontonan” tercakup pengertian segala
sesuatu yang bisa ditonton akan diterima. Perbedaan bahasa pun tak jadi soal.
Penonton tidak hanya menikmati apa yang ada dihadapannya dengan logika tetapi
rasa. Karena pertunjukan buat mereka adalah peristiwa bersama. Bahkan cenderung
sebuah “upacara”.
Teater tradisi lekat pada
kehidupan. Beberapa istilah teater juga terkait erat dengan kehidupan nyata. Di
Bali dikenal apa yang disebut "taksu" buat seorang yang memiliki
pesona luar biasa bila sedang bermain dalam pertunjukan. Sehari-hari ia mungkin
hanya petani biasa yang lugu, tetapi di pentas ia memancarkan kharisma yang dahsyat.
Di dalam kehidupan biasa taksu berarti kekuatan gaib yang dapat membantu secara
positip penampilan/keberadaan seseorang.
Dalam wayang ada yang
disebut goro-goro. Adegan para panakawan ngumbar “keedanannya”. Di situ
panakawan bisa bicara sangat merdeka, sampai keluar bingkai artistik. Ia
leluasa mengacak-acak cerita, mencampurkan kehidupan nyata dan kisah di dalam
pertunjukan. Saat itulah akan muncul tembakan kanan-kiri, mengolok-olok para
kesatria.
Adegan yang sudah melembaga
itu adalah sebuah jedah. Tempat mengambil nafas setelah rentetan adegan serius
yang tegang. Goro-goro memberontak pakem. Penonton dipersilakan mengendorkan
urat-syaraf, menikamti suasana santai. Tetapi adanya goro-goro ini juga
merupakan tawaran dan tantangan yang memacu kreativitas dan kelihaian
berimprovisasi bagi para seniman. Sebuah ruang untuk mencipta.
Kehadiran goro-goro ( di
Bali disebut bebagrigan atau bebanyolan ) adalah bagian dari kearifan lokal.
Adegan tersebut menjadi lubang pelepasan. Kesempatan menyalurkan aspirasi. Di
sanalah ruang untuk pesan, kesaksian, bahkan kritik-kritik atau
kecaman-kecaman. Sering dalam kesempatan itu missi utama pertunjukan itu
diutarakan blak-blakan.
Goro-goro menjadi kesempatan
berkomunikasi langsung dengan masyarakat dari sang empunya hajat. Apakah
pertunjukan itu dianggap semacam penebus kaul, atau sebagai propaganda KB,
misalnya. Yang perlu dicatat, pada dasarnya banyolan/kritik/kecaman/keedanan
apa pun yang ada di dalamnya, tak pernah terasa kasar, tetap dapat diterima
dengan ramah. Demokratis, lugas, tetapi tetap terkendali dalam simbol-simbol
dan metafora yang santun.
Tapi kemudian di sekitar
1955, saat Pemilihan Umum pertama, partai-partai politik mulai mempergunakan
teater sabagai alat propaganda dalam kampanye. Sejak itu teater kembali menjadi alat
berjuang sebagaimana yang terjadi di zaman Jepang. Ketika Jepang mempergunakan
“Taufan Di
Atas
Asia” (Dr. Abu Hanifah) untuk mempropagandakan kedatangan Saudara Tua.
Goro-goro adalah bukti
“kebijakan” teater/seni pertunjukan pada kegunaannya untuk masyarakat. Di situ
kita lihat apa jawaban tradisi kalau (kemudian) diberikan pilihan slogan: “seni
untuk seni” atau “seni untuk masyarakat”. Nilai hibur di dalam goro-goro di
samping menunjukkan tekad untuk “nyambung” dan “berguna”
dengan masyarakat, juga upaya untuk memelihara kebebasan berpendapat” di tengah
perbedaan. Ini semangat “bhineka tunggal ika”. Sebuah akal cerdas yang
membuktikan betapa teater tradisi bukan hanya menghibur tetapi menggagas dan
berpikir, walhasil mewariskan “kearifan lokal”.
Dalam lenong (teater rakyat
Betawi) muncul apa yang dianggap “absurd” bagi yang akrab dengan teater Barat.
Misalnya seorang pemain dengan seenaknya saja akan bercerita bagaimana ia pada
suatu malam tertidur di pinggir jalan lalu mimpi dikejar-kejar Jepang. Ketika
tertangkap kepalanya dipenggal. "Bangun-bangun aye cari kepale itu ke
mane-mane kagak ketemu,"kata pemain itu. Penonton meledak ketawa, tetapi
pulang ke rumah membawa pikiran/pesan moral mendalam.
Banyak lagi contoh-contoh
lain yang menurut pengertian teater Barat absurd, wajar saja dalam teater
rakyat. Bagaimana tidak, di dalam kehidupan nyata, yang dituding Bsurd tersebut
lumrah terjadi. Teater Barat membedakan dan sekaligus membatasi antara komedi
(lakon lucu) dan tragedi (lakon pedih-pahit). Karena di dalam kehidupan kedua
hal itu memang terpisah. Tetapi di dalam kehidupan Timur/Indonesia, kita
tertawa dan menangis bersamaan. Dalam upacara penguburan, misalnya, sudah biasa
banyak orang suka berseloroh. Orang yang mobilnya ketabrak hancur, masih
mengucap syukur karena tidak mati. Absurd tetapi nyata.
Dua nilai yang berbeda hadir
bersamaan dalam satu wadah. Dua jenis teater yang berbeda nuansanya, menemukan
persamaan sebagai bagian keutuhan kehidupan yang tak bisa dipreteli, meskipun
penjelasan dan urutan peristiwanya lain. Dalam lakon/pertunjukan yang sedih
selalu saja ada ketawa. Ini pancaran sikap mendasar yang menerima kehidupan
komplit, seutuhnya dari seluruh sisinya. Jadi teater/seni pertunjukan tidak
semata-mata tontonan, tetapi juga paparan jati diri seutuhnya.
Dalam pengolahan teater
rakyat, muncul hal-hal sederhana tetapi jadi amat modern kalau dijelaskan.
Teater memerlukan set, tata lampu atau pergantian babak untuk memindahkan
sebuah peristiwa ke tempat lain. Tapi para pemain teater tradisi cukup berputar
di tempat, ia sudah menyebrang ke ruang atau demensi lain. Dari contoh itu
tersimpul bagaimana kuatnya tradisi menanamkan apresisi teater pada penonton.
Daya tangkap penonton tinggi. Asal saja tontonan itu sendiri tidak dengan sengaja
membuat “jarak”.
Di dalam
wayang,karakter-karakter sudah terbentuk dan selesai. Tidak ada perkembangan
watak lagi. Yang bergolak adalah cerita.Yang berbenturan adalah prinsip
kehidupan dan jalan pikiran. Pertunjukan tidak merupakan pengamatan psikologis
pada perkembangan jiwa karakter, tetapi konflik-konflik besar tentang
kebenaran, kepatutan, kelayakan, keadilan dan sebagainya. Ini menyebabkan isi
pertunjukan jadi masalah banyak orang.
Di teater Calon Arang Bali,
ada tradisi menggantung persoalan. Tontonan berakhir tidak dengan memenangkan
salah satu pihak. Kekuatan hitam dan putih dianggap bertikai sepanjang zaman.
Kadang yang putih menang, kadang yang hitam, sesuai dengan desa-kala-patra
(tempat-waktu-suasana). Pendekatan yang tidak hitam putih itu membuat teater
tradisi menjadi moderat.
Di Surabaya ada Teater
Srimulat (Pak Teguh) yang punya catatan sendiri dalam kehidupan seni
pertunjukan Indonesia. Para anggota Srimulat kini berserakan di layar televisi
dan panggung-panggung hiburan. Mereka masuk ke hotel, café dan perhelatan
pribadi, sampai diundang ke Keduataan Indonesia di mancanegara.
Banyak sumbangan Srimulat
pada perkembangan teater Indonesia. Di tahun 70-an secara berkala Srimulat yang
bermarkas di Taman Hiburan Rakyat Surabaya (THR) tampil di TIM. Sampai-sampai
ada “mid-night show. Setiap malam pengunjungnya sekitar 2000 penonton di teater
terbuka.
Ketrampilan
membelokkan/memelesetkan dialog ( improvisasi ) yang dilakukan oleh para pemain
Srimulat ( semuanya pelawak ), khususnya almarhum Johny Gudel ( yang buta huruf
) sensasional. Lugu, spontan, terduga-duga dan bukan main kocaknya.
Dialog-dialog Gudel meletup-letup seperti tak terkendali/ngawur tapi tajam
kemudian memberi kesan dalam/cerdas. Menonton Srimulat di masa 70-an tak
bedanya dengan menikmati dialog-dialog Estragon dan Didi dalam Waiting For
Godot,Samuel Beckett.
Apakah Gudel dipengaruhi
Beckett ? Atau Bekett dipengaruhi Gudel? Gudel tidak tahu siapa Beckett. Bahasa
Indonesianya saja berantakan. Ia dijiwai oleh tradisi dagelan Mataram di Yogya.
Tapi Beckett memang ada hubungannya dengan pelawak Laurel dan Hardy. Jadi
meskipun berjauhan dengan tingkat intelektualita tidak satu level, zaman
menghembuskan nafasnya di mana-mana sama. Dengan analogi itu teater tradisi
jelas bukan sesuatu yang sudah mati, kuno, tetapi selalu memperbarui dirinya
apabila dibongkar dari muatan kearifan lokalnya. Dengan cara pandang seperti
itu, langkah kembali kepada akar teater tradisi adalah pilihan yang sangat
menguntungkan.
Pengaruh Srimulat, lenong,
wayang, randai dan sebagainya sangat kuat sekarang dalam teater kontemporer
Indonesia. Dulu orang muda di kota-kota memang malu-malu menonton/melakukan
seni tradisi, tapi di TIM para anak muda karena terbiasa, menganggap tradisi
itu sudah bagian dirinya. Ada yang tak pernah benar-benar dapat menikmati tari
Jawa karena dia bukan orang jawa.Tapi setelah sepuluh tahun bergaul di TIM,
bukan saja tari Jawa,juga tari Minang atau idiom teater rakyat seperti makyong,
mendu, lenong, ketoprak, dan sebagainya terapresiasi dengan baik dan nyaman.
Pertunjukan drama (dulu
disebut sandiwara: kabar yang dirahasiakan) sempat berjarak dengan teater
tradisi. Drama terposisikan sebagai asesoris manusia yang lebih terpelajar
dibandingkan dengan pertunjukan teater rakyat & tradisi. Sandiwara sebagai
barang impor yang kiblatnya realisme juga memang masih belum terkuasai dengan
baik, karena teater tradisi cenderung pada simbol-simbol dan stilisasi.
Masyarakat menganggap drama
ekspresi yang berbau kota. Baik karena bahasanya bahasa Indonesia ( yang belum
akrab benar buat penduduk daerah ) maupun karena menampilkan hidup nyata
sehari-hari. Penonton juga belum bisa menerima teater sebagai
"tontonan", karena banyak sekali pertunjukan drama yang bertele-tele
dan buruk. Namun setelah berdirinya TIM, jurang itu menipis dan akhirnya
hilang.Terbawa oleh jiwa teater tradisi, kini pertunjukan drama di Indonesia
tidak hanya lekat dengan tutur (sastra), tetapi pada semua cabang seni yang
lain ( seni tari, seni rupa, seni suara serta belakangan film). Pada tahun 1975
seorang penari, Sardono W. Kusumo menggarap tontonan “Dongeng Dari Dirah”. Yang
muncul bukan tarian tapi teater total dengan unsur tari, musik, rupa serta
gerak. “Dirah” didukung seniman-seniman Bali tradisional, Sumawati Soekarno
Putri dan seorang aktor dari Bengkel Teater ( Tapa Sudana yang kemudian menetap
di Paris bekerjasama dengan Peter Brook ) serta seorang pelukis (penata
artistik) yang juga sastrawan beken : Danarto.
Teater Modern
Indonesia
Teater Indonesia adalah
seluruh kegiatan teater yang kini ada di Indonesia. Itu meliputi teater
tradisional; teater rakyat; teater modern: baik yang berkiblat pada teater
Barat maupun yang berakar pada tradisi Indonesia.
Dengan demikian bukan hanya
randai, makyong, bangsawan, mendu, abdul muluk, arja, ludruk, mamanda, lenong,
debus, wayang wong, wayang kulit dan sebagainya termasuk teater Indonesia.
Seluruh kegiatan teater di Indonesia adalah teater Indonesia. Semua produksi
Bengkel Teater, Teater Populer, ATNI, Asdrafi, Teater Indonesia, Teater Saja,
Teater Populer, Teater Koma, Teater Gandrik, Teater Gapit, Teater Gadak-Gidik,
Teater Aquilla, Teater Sae, Teater Kubur, Teater Nasional Medan, Bengkel Muda
Surabaya, Teater Banjarmasin, Teater Denpasar, Teater Putih, Teater
Ujungpandang, Bumi Teater, Studi Klub Teater Bandung, Teater Payung Hitam,
Teater Mandiri, Teater Satu, Teater Garasi, Teater Satu dan sebagainya bahkan
juga produksi The Jakarta Players yang berbahasa Inggris, di masa lalu, bisa
disebut teater Indonesia.
Yang terjadi pada teater
modern Indonesia sekarang dua hal: usaha menggali tradisi (bentuk dan jiwanya)
dan memantapkan pasar. Penggalian kepada tradisi telah dlakukan dengan sengaja
dan tak sengaja. Usaha tersebut nampak dengan jelas sejak berdirinya TIM.
Dengan berkumpulnya segala kegiatan kesenian di TIM dari berbagai daerah dan
dari berbagai jenis, termasuk dari mancanegara, telah terjadi interaksi yang
menghasilkan puncak-puncak karya teater modern Indonesia sebagaimana yang
tercatat pada pementasan Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Populer, STB,
disusul Teater Mandiri, Teater Koma, Teater4 Saja, Teater Gandrik, Teater
Payung Hitam, Teater Kubur, Teater Garasidan sebagainya,
Teater modern Indonesia kini
bukan lagi hanya peniruan atau kelanjutan yang terlambat dari teater Barat.
Teater modern Indonesia kini telah bertolak dari akar teaternya sendiri.
Sebagian lewat jiwa teater tradisi sebagian dengan bentuk-bentuk, sebagian lagi
penggabungan keduanya. Tanpa menolak kenyataan bahwa kegiatan teater modern
yang berkiblat ke Barat sebagaimana yang pernah disulut oleh ATNI (Asrul Sani)
, juga tetap hidup.
Dengan berkembangnya
kegiatan teater modern secara berkesinambungan, pada kelompok-kelompok teater,
proses penciptaan berlangsung terus. Meskipun mengalami pasang-surut bahkan
kadangkala sempat terjadi panceklik (sebagaimana yang pernah diliput oleh majalah
TEMPO -- pada tahun 70-an --) toh kehidupan teater modern sudah bersosok.
Memasuki tahun 80-an, bertambah jelas: kegiatan teater modern bukan lagi hanya
sekedar kegiatan amatiran, tetapi sudah menjurus ke profesional. Dimulai Teater
Populer, kemudian dipacu oleh Bengkel Teater, akhirnya pasar teater mulai
dicoba. Teater Koma kini adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa pasar
teater sudah ada walau masih senen-kamis.
Pembukaan pasar menjadikan
kegiatan teater tidak lagi hanya sekedar ekpsresi kesenian tetapi barang
komoditi. Kenyataan ini membawa beberapa kemungkinan. Pertama mengalirkan uang ke
kocek orang-orang teater, yang memungkinkan produksi dapat disiapkan dengan
sarana yang lebih baik. Yang kedua, menjadikan pementasan kemudian berorientasi
kepada produk akhir sebagai barang komoditi: laku atau tidak? Kedua kenyataan
tersebut berdampak negatip dan positip. Tinggal bagaimana masing-masing
kelompok menanggapinya.
Teater modern Indonesia kini
sudah hadir dalam forum nasional sebagai kenyataan yang diperhitungkan di
samping teater rakyat/tradisi. Peta internasional pun sudah mulai mencatat.
Sebelumnya, mancanegara baru mengenal Indonesia lewat teater-teater tradisi/rakyat.
Sukses pementasan Dongeng Dari Dirah di Prancis, merupakan pertanda bahwa
teater modern Indonesia memiliki peluang banyak.
Tanggapan terhadap
karya-karya Arifin C Noer, dengan diterjemahkannya Kapai-Kapai dengan
pementasannya di mancanegera, menunjukkan bahwa peluang tersebut makin jelas.
Pementasan Rendra dengan Bengkel Teater di Festival New York, juga bukti bahwa
teater modern Indonesia memiliki "pasar" dunia. Teater Koma pernah
diundang ke Tokyo tetapi batal karena tidak ada izin pemerintah. Sena dan Didi
Mime diundang ke Jerman. Teater Mandiri, menjelajah Amerika, Jepang, Hong Kong,
Singapura, Taiwan, Korea, Mesir, Ceko dan Bratislava. Demikian juga Teater
Payung Hitam, Teater Gandrik, Teater Garasi melawat ke berbagai negara
(Australia, Amerika. Banyak sutradara muda diundang ke Amerika dan jepang. Pada
Festival Indonesia di Amerika (KIAS) 1990-1991, teater modern Indonesia,
(Teater Mandiri dan Teater Kecil) dengan sambutan baik di beberapa kota
Amerika.
Potensi teater modern
Indonesia, termasuk naskah-naskah lakon asli sangat besar. Yang masih mandul
adalah menejemen dan kritik. Keduanya yang berpotensi untuk menjadi mata rantai
membentuk jaringan/pasar teater, serta mmacu berbagai eksplorasi teater sampai
saat ini masih rawan. Hampir tak ada kritik teater. Yang ada hanya resensi dan
laporan-laporan kecil yang seringkali keliru. Tak hanya kritik teater,
kihidupan kritik seni di Indonesia juga menyedihkan. Itu sebabnya dalam Kongres
Kesenian 1995 pembinaan kritik seni dianggap sebagai salah satu rekomendasi
yang penting.
Kegiatan teater umumnya
masih berkutat hanya pada membuat pertunjukan. Padahal pertunjukan memerlukan
biaya, publikasi, sarana dan kehadiran penonton. Kesempatan berembuk,
mendiskusikan, mempublikasikan, mengorganisir dan sebagainya yang tercakup
dalam produksi masih terabaikan. Teater modern Indonesia tidak hanya memerlukan
pemain, sutradara dan penulis naskah, tetapi juga produser, impresario, awak
panggung yang professional, kritik dan tempat pertunjukan yang layak.
Teater Indonesia rata-rata
baru menjadi alat untuk berekspresi. Pembinaan penonton terabaikan. Kehidupan
seni pertunjukan bisa sehat, bila awak teaternya gigih dan penontonnya setia.
Ini bukan hanya urusan produser, impresario dan para menejer, ini juga urusan pakar-pakar
teater. Para penonton harus dipelihara. Harus ada keseimbangan antara usaha
pencarian/pembaruan yang merupakan kebutuhan para aktivis teater dan usaha
memupuk apreasi penonton serta usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan
jumlah penonton.
Jalan yang terbaik untuk itu
adalah dengan menjaga pengadaan/ penawaran berbagai jenis teater/tontonan pada
setiap saat. Kehidupan teater ekperimental, misalnya, harus
selalu berdampingan dengan kehidupan teater yang mapan. Teater-teater yang
menghibur harus dibarengi dengan kehadiran teater-teater yang mengejar
pembaruan-pembaruan. Berbagai jenis/kecendrungan teater modern hidup
berdampingan sementara teater tradisi dan teater rakyat juga sehat, itu berarti
pasar teater harus segera diwujudkan.
Kegiatan teater modern
Indonesia memusat di kota-kota besar seperti: Yogya,Malang, Surabaya, Denpasar,
Singaraja, Mataram, Lampung, Palembang, Medan, Padang, Pakanbaru, Banjarmasin,
Ujungpandang dan khsusnya Jakarta. Di situlah tersedia sarana. Tapi kalau mau
jujur di Jakarta sendiri pun sarananya belum memadai. Hanya ada satu gedung
yang bagus (GKJ). Ini menunjukkan kenyataan bahwa teater belum merupakan
sesuatu yang diperhitungkan oleh pemerintah. Tak ada kerisauan bila di sebuah
tempat tidak ada gedung pertunjukan. Sebagaimana juga kurangnya perhatian pada
perlunya melindungi taman dari kebuasan nafsu pembangunan kota dengan
gedung-gedung.
Tradisi Baru
Taman Ismail Marzuki yang
berdiri tahun 1968, hadiah dari Gubernur Ali Sadikin, memberikan kesegaran pada
kehidupan seni pertunjukan. Dewan Kesenian yang memiliki komite seni rupa,
tari, musik, film dan teater, ternyata tidak hanya mencoba mengembangkan segala
macam kesenian yang ada di DKI. Masing-masing komite menoleh ke berbagai
wilayah budaya Indonesia. Kesenian tradisional, seni rakyat dan seni
kontemporer dari seluruh Indonesia dibina. Secara berkala muncul duta-duta
kesenian daerah, di TIM. Pusat Kesenian itu praktis menjadi pusat pembinaan
kesenian nasional.
Pekan Kesenian, Festival
Kesenian, diskusi, lokakarya dan seminar dari berbagai cabang kesenian yang
diikuti oleh wakil-wakil daerah terselenggara secara teratur dan intensif.
Kesenian tradisional, kesenian rakyat serta kesenian kontemporer hadir
bersama-sama
dalam
gedung dengan fasilitas
yang sama. Dijemput juga berbagai kelompok kesenian dari mancanegara, seperti
Kathakali dari India, ballet Martha Graham, kelompok Jazz dari Jerman, Bhiakosa
dari Jepang -- untuk menyebut beberapa contoh – yang mengubah TIM menjadi
tempat berdialog antara seni/seniman-tradisional - kontemporer - rakyat dan
seni/seniman dari berbagai desiplin kesenian mancanegara. Secara tak langsung
forum seni daerah-nasional-internasional pun hidup.
Kesempatan itu membuat
kesenian ''lenong'', misalnya, yang semula hidupnya sekarat di pinggiran
Jakarta, sehat kembali. Atas jasa Ali Shahab, aamarhum S.M Ardan , D
Djajakusuma serta Soemantri Sosrosuwondo, teater rakyat Betawi itu naik ke
panggung Teater Terbuka. (Bekangan masuk ke layar TV dan tembus ke RCTI sebagai
Lenong Rumpi -- bahkan melahirkan sebuah film). Kesempatan itu menyuntik dan
mempopulerkan berbagai cabang kesenian yang sudah pinsan.
Wayang, Samrah, Arja,
Gambuh, Cokek, Debus, Makyong, Mamanda, Ludruk, Ketoprak, Dagelan Mataram, Mis
Cicih, Dombret, Gambang Kromong, Tanjidor, Srimulat dan sebagainya mendapat
angin. Interaksi yang kemudian terjadi, baik antara kesenian
daerah-nasional-internasional itu menumbuhkan iklim untuk mempergunakan atau
menggali jiwa dan bentuk kesenian tradisional dalam karya-karya baru.
Bandingan-bandingan yang datang dari berbagai negara, membuat para seniman
tiba-tiba menyadari identitasnya dan ingin mencuat ke gelanggang internasional
dengan ciptaan yang baru.
ATNI (Akademi Teater
Nasional Indonesia) yang dipimpin oleh Asrul Sani, sudah menambah perbendaharaan
seni akting dan pemanggungan sandiwara -- yang sebelumnya tidak diketahui.
Dengan berdasarkan naskah-naskah terjemahan dan teori-teori akting Stanilavsky
dan Bolelavsky, Asrul Sani telah melahirkan aktor/sutradara seperti Teguh Karya
yang kemudian mendirikan Teater Populer. Kelompok inilah yang melahirkan
pemain-pemain seperti Slamet Raharjo dan Tuty Indra Malaon (almarhumah) serta
kemudian dramawan N.Riantiarno (Teater Koma). Teguh Karya/Teater Populer
meneruskan tradisi teater Barat, seperti yang dirintis oleh Asrul Sani.
Mengenalkan bagaimana pertunjukan teater yang profesional dilangsungkan.
Dari pertunjukan-pertunjukan
yang menurut para pengamat adalah pertunjukan bule/indo, Teguh Karya tiba-tiba
membuat kejutan dengan pementasan Djajaprana pada awal tahun 70-an. Ia
memasukkan unsur Bali di dalam produksi itu dengan membawa serta I Wayan Diya.
Setelah itu ia meneruskan langkahnya dengan memainkan Macbeth dengan memakai
kostum Batak, dan Perkawinan Darah yang mencoba mengolah randai. Ketiga produksi
tersebut jelas merupakan hasil interaksi yang terjadi di TIM.
W.S Rendra yang mendirikan
Bengkel Teater pada tahun 1967 di Yogya, ikut menggebrak TIM dengan menampilkan
teater Mini Kata. Pementasan nomor-nomor yang mempergunakan kata-kata dengan sangat
minimal itu, menjadi peristiwa teater. Nomor Bip-Bop, yang kemudian juga tampil
di TVRI yang didukung juga oleh Teguh Karya sebagai pemain, memberi kemungkinan
baru pada penampilan drama yang sebelumnya amat didominasi oleh apa yang
disebut naskah. Pementasan tersebut disusul oleh pementasan Kasidah Barzanji
yang menampilkan seni suara dan musik dengan bloking dan gruping serta
koor-koor yang diilhami dari seni kasidahan. Ketika Rendra muncul dengan
Machbeth yang mempergunakan kostum Jawa, gamelan serta struktur pengadeganan
ketoprak, interaksi antara teater tradisional-rakyat-tradisional semakin jelas.
Arifin C Noer salah seorang
penulis drama puncak di Indonesia, mendirikan Teater Kecil di Jakarta. Ia
mementaskan Mega-Mega, pemenang kedua sayembara penulisan drama BPTNI (Badan
Pembina Teater Nasional Indonesia) 1967 pada tahun 1968 di TIM. Karyanya yang
sangat berbeda dengan drama-drama Indonesia yang ditulis sebelumnya itu,
dimainkan dengan stilisasi dan topeng. Baik dalam struktur penulisan maupun pengadegan
dan akting, ia memberikan tawaran baru. Dari Arifin kemudian lahir naskah dan
pementasan seperti Kapai-Kapai yang merupakan salah satu puncak dan pembaruan
dalam drama Indonesia.
Kemudian lahir pementasan
Dongeng Dari Dirah oleh Sardono W.Kusumo. Penari ini meramu kembali teater Bali
dalam kemasan kontemporer. Batas tari dan "teater" menjadi tipis.
Pementasan yang kemudian mendapat sambutan di Paris itu, memberikan kepercayaan
pada kehidupan teater kontemporer. Bahwa bukan hanya seni tradisi, tetapi juga
seni kontemporer Indonesia dapat bersaing di forum internasional. Hubungan seni
kontemporer dengan seni tradisi berkelanjutan akrab. Tidak ada jarak gengsi dan
wilayah lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Itu peristiwa yang penting.
Karena itu mendorong usaha-usaha teater kontemporer Indonesia melakukan
ekplorasi. Batas antara teater dengan senirupa, musik dan film juga makin
hilang. Pementasan multi media mulai dipacu. Eksperimen-ekperimen dilaksanakan.
Ada yang berhasil, banyak juga yang konyol. Wisran Hadi dari Padang menggali
randai. Akhudiat di Surabaya menggali kentrungan. Ikra Negara mencoba
memasukkan unsur teater Bali. Vredi Kastam Matra dan Noorca Marendra mengolah
mistik dan kebatinan Jawa. Di Ujung Pandang ada Aspar yang mengolah budaya daerahnya.
Kemudian N.Riantiarno dengan Teater Koma mencoba pertunjukan musikal/operet.
STB Bandung dengan pimpinan Suyatna Anirun, serta penulis lakon Zaini KM,
menampilkan budaya Sunda di dalam pementasannya. Belakangan muncul Teater
Dinasti, Yogya mengangkat gamelan dan Teater Gandrik yang mengolah sampalan di
dalam ketoprak. Teater Mandiri memacu tontonan dan unsur seni rupa ke atas
pentas/naskah, yang merupakan repfleksi dari latar belakang Bali.
Semua peristiwa tersebut
menjadi sejarah kehidupan teater Indonesia, yang menjadi
panutan-contoh-bandingan-teladan-tantangan, bagi kegiatan teater Indonesia
selanjutnya. Sehingga bicara tentang teater Indonesia tidak lagi hanya
mengembalikan semuanya kepada referensi Barat - karena itu akan terasa sebagai
''perkosaan''. Teater modern Indonesia telah memiliki referensinya sendiri.
Sebuah “Tradisi Baru”.
TIM memberikan tawaran baru
dengan terobosan-terobosan. Kemajuan pesat terjadi dalam kehidupan teater baik
dalam hal pemanggungan maupun penulisan naskah. Puncak-puncak pementasan
Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Kecil, kemudian disusul oleh Teater
Sardono, Teater Mandiri, dan lain sebagainya, menjadi tradisi baru, yang
mempengaruhi paling sedikit mengawali kehidupan teater modern Indonesia
selanjutnya, yang jelas ciri-cirinya.
Dipacu oleh tulisan-tulisan
di media masa serta TVRI (khususnya lenong), publikasi dari DKJ, bentuk dan
jiwa teater tradisional/rakyat mengalir deras ke dalam kegiatan teater modern.
Dan sebaliknya aspek ''kontemporer'' juga mengalir deras ke dalam teater
tradisional/rakyat. Baik melalui usaha langsung sebagaimana yang dilakukan oleh
D.Djajakusuma dengan lenong dan wayang wong (Wayang Wong Bharata), atau tak
langsung berkat keikutsertaan kelompok tradisional itu dalam pementasan kontemporer
-- seperti dialami oleh para seniman tradisional Bali ketika mengikuti
pertunjukan Dongeng Dari Dirah.
Yang sangat menarik adalah
bahwa bukan hanya di dalam teater lahir tradisi baru. Juga di dalam seni rupa,
sastra, tari dan musik muncul hal yang sama. (Untuk musik, dilukiskan dengan
bagus sekali dalam ceramah Franki Raden tentang musik di Teater Arena TIM). Ini
menunjukkan bahwa kesenian tradisi kita itu sebenarnya hidup, dinamis dan
aktual. Khususnya jiwanya.
Pada tahun 1974 ketika
dimulai Festival Teater Remaja yang diikuti oleh 114 kelompok teater di seluruh
Jakarta, muncul pementasan-pementasan yang menjelaskan betapa dalam waktu
singkat TIM telah menyusun tradisi baru. Corak pementasan yang muncul sudah
berbeda dengan tradisi teater barat yang diletakkan oleh ATNI. Dalam
kesederhanaan mutunya, pementasan-pementasan itu pada dasarnya dapat
dikembalikan kepada corak Bengkel Teater, Teater Kecil dan Teater Populer.
Belakangan corak itu dilengkapi dengan corak yang meneruskan apa yang dilakukan
oleh Teater Mandiri, Teater Saja dan kini Teater Koma. Selanjutnya oleh Bumi
Teater, Teater Sae, Teater Gandrik, Teater Kubur yang dipimpin oleh Dindon.
Lalu Teater Payung Hitam, Teater Garasi dan Teater Satu.
Peristiwa tersebut tidak
terjadi secara kebetulan. Almarhum Wahyu Sihombing yang menjadi arsitek
festival itu (BPH dan Ketua Komite teater) memberikan ketentuan bahwa pada
tingkat final, para peserta harus mempergunakan naskah pemenang dalam Sayembara
Penulisan Lakon DKJ. Sayembara yang dimulai pada tahun 1972 itu telah
menelorkan naskah-naskah baru. Naskah-naskah yang mendapat inspirasi dari
proses interaksi -- baca tradisi baru -- yang disebut di atas.
Persinggungan dengan seni
tradisional dan bandingan pertunjukan dari mancanegara ikut membentuk Wisran Hadi,
Akhudiat, Noorca Marendra, Yudhistira A. Nugraha, Vredy Kastam Mastra dan Saini
Km, dalam melahirkan naskah-naskah drama baru. Drama mereka memiliki
kecendrungan berbeda dari puncak-puncak penulisan naskah drama sebelumnya.
Karya-karya itu tidak lagi mengikuti struktur penulisan seperti karya-karya
dari Utuy Tatang Sontany, Nasyah Djamin, Kirjomulyo, Motinggo Boesye.
Karya-karya itu, seperti melanjutkan semangat yang sudah muncul dalam karya
Arifin C. Noer yang berjudul Mega-Mega, yang semakin kental dalam Kapai-Kapai.
Karya yang membumi.
Pementasan naskah-naskah itu
dalam Festival Teater Remaja juga memberikan umpan balik kepada para penulis
dalam menuliskan karya-karya berikutnya. Mereka semakin sadar menggali bentuk
dan jiwa teater tradisional/rakyat. Meskipun sayembara itu semakin lama semakin
mundur mutunya, tetapi sejumlah karya telah mengisi Tradisi Baru. Sebuah pola
penulisan baru terwujud. Batas antara teater dengan senirupa, seni tari dan
seni musik semakin lama semakin hilang. Teater modern Indonesia semakin dekat
pada struktur tontonan.
Membaca naskah-naskah drama
yang ditulis dalam era tradisi baru, kita akan menemukan manusia Indonesia,
masalah Indonesia dan bumi Indonesia. Akhudiat mengolah kentrungan. Wisran Hadi
mengolah randai. Rendra mengolah ketoprak. Arifin mengolah seni rakyat. Dan
sebagainya.
Usaha untuk menggali tradisi
sementara itu berkelanjutan pada berbagai kelompok teater senior. Menonton
pertunjukan-pertunjukan dalam era tradisi baru, kita akan melihat idiom-idiom
yang ada dalam teater tradisional dan teater rakyat. Konsep tontonan sebagai
peristiwa dan upacara bersama, melahirkan pertunjukan yang akrab. Proses kerja
yang memberikan kepercayaan pada proses itu sendiri, melahirkan hasil-hasil
yang membumi. Hilangnya batas antara desiplin seni satu sama lain, menyebabkan
teater kembali komplit seperti hidup. Danarto bahkan memproklamirkan gagasan
Teater Tanpa Penonton, konsep yang mengajak penonton menyerang tontonan dan
menjadi bagian dari peristiwa itu -- sebagaimana yang ada di dalam Teater Calon
Arang di Bali. Konsep drama realis, bukan lagi kebenaran satu-satunya.
Pentas/naskah drama seperti tiba-tiba merdeka unmtuk mengungkap imajinasi,
fantasi di samping renungan dan pikiran-pikiran.
Secara phisik pentas/naskah
menjadi lebih bebas dan kaya. Kita lihat kerepotan baru yang kurang dikerjakan
oleh pertunjukan/penulisan drama sebelumnya. Musik menjadi penting. Tarian dan
stilisasi digarap. Tata rias, kostum, pengadegan, bahkan cara berbicara
kadangkala langsung meniru bentuk teater rakyat. Cerita rakyat dan tokoh-tokoh
sejarah lahir kembali dalam intrepretasi baru. Struktur uro-uro yang disebut
bebagrigan di Bali - dihadirkan dengan dengan lantang. Batas antara penonton
dengan pemain, antara penonton dan panggung diterobos. Fantasi dan kenyatan
berbaur melahirkan dongeng-dongeng dan tontonan di atas pentas/naskah.
Ada sejumlah pengamat di
dalam membuat peta, mencari referensi teater Barat. Mereka menyebut itu gejala
surealisme, eksistensialisme atau absurdisme.
Lompatan dalam tempo yang
pendek itu diterima dengan ragu-ragu dan curiga. Ada pengamat yang tetap merasa
kehidupan teater modern Indonesia adalah bagian dari kehidupan teater Barat.
Apa yang sudah dikerjakan baik oleh Rendra-Arifin-Teguh dll. -- yang menjadi
Tradisi baru -- hanya kelanjutan citra teater Barat. Kita harus cermat
mengikuti perjalanan teater Indonesia -- baik pementasan maupun penulisannya.
Hanya berpegang pada referensi teater Barat adalah perkosaan.
Kekeliruan/kecurigaan itu
tersebut memuncak pada pandangan Rustandi Kartakusuma pada tahun 70-an. Lewat
komentarnya terhadap hasil Sayembara Penulisan Lakon DKJ 1973 (Aduh), dengan
keras ia menyatakan bahwa itu hanya tiruan pada drama absurd Prancis. Baginya
apa yang sedang terjadi adalah peniruan yang membabi buta dan tanpa pengetahuan
atas drama absurd di Prancis.
Reaksi keras muncul dari
Goenawan Mohammad yang panjang lebar menuliskan pembelaan terhadap Teater
Indonesia di dalam majalah Budaya Djaja. Ia membantah pendapat Rustandi
Kartakusuma dengan antara lain menunjukkan bahwa drama-drama yang dihasilkan
dalam periode itu adalah melalui proses lapangan. Misalnya, ia menjelaskan
bagaimana Arifin C.Noer menuliskan naskah-naskahnya, sementara para pemainnya
berlatih untuk bagian-bagian yang sudah rampung - sekaligus mengilhami
kelanjutan naskah itu.
Citra Indonesia di dalam
teater modern adalah proses kesibukan yang ramai dan terus-menerus. Kita tidak
mengelak bahwa interaksi yang terjadi di TIM - seperti disebut pada awal
tulisan ini - tidak hanya menampilkan kan Rendra, Teguh, Arifin, Suyatna, Putu,
Wisran, Ikra, Akhudiat, Aspar, Vredy, Zain, Riantiarno, Norcaa, Yudhis dan
sebagainya, tapi juga terus memberikan hak hidup pada apa yang sudah dirintis
oleh ATNI. Sebagaimana kita rasakan dalam pementasan-pementasan almarhum Wahyu
Sihombing dan Pramana Pmd, misalnya.
Menonton
pertunjukan-pertunjukan teater modern Indonesia sekarang dan membaca
naskah-naskah teater karya pengarang Indonesia kini -- Tradisi Baru adalah
citra Indonesia dalam drama modern Indonesia. Bahwa citra teater Barat juga ada
dan hidup adalah bagian yang wajar dalam kehidupan teater Indonesia,
sebagaimana juga citra teater tradisional dan citra teater rakyat. Semuanya
saling melengkapi. Proses interaksi tak pernah selesai. Semuanya sah. Kebulatan
semua itulah Teater Indonesia. Citra yang terus tumbuh dan mengelak kalau
dijebak dengan definisi-definisi kaku. Walhasil, citra Indonesia dalam seni
pertunjukan adalah pengertian yang bergerak dan selalu actual.
Lakon Indonesia
Naskah drama Indonesia yang
pertama, ditulis oleh Rustam Effendi pada 1926. Namanya Bebasari. Tetapi tidak
berarti bahwa teater Indonesia waktu itu baru lahir, karena naskah hanya salah
satu bagian dari pertunjukan. Sebelum itu pun teater Indonesia sudah marak.
Berbagai teater tradisi tampil tanpa naskah namun jelas punya cerita, plot,
karakter, tema, missi yang mau mereka sampaikan, persis seperti layaknya yang
ditemukan dalam sebuah naskah drama.
Adanya naskah tertulis,
hanyalah saat ketika teater mulai mengelompok pada sastra. Karya-karya teater
tidak lagi hanya merupakan seni pertunjukan, tetapi diawali atau terekam dalam
apa yang disebut naskah. Pada awalnya -- seperti yang terjadi pada Bebasari --
naskah ditulis sebagai rancangan (blue print) sebuah pementasan.
Waktu itu, naskah adalah
tulisan yang berisi ide-ide dari pengarang untuk dikembangkan secara visual
oleh sutradara. Jadi dia merupakan embrio, ide, gagasan dan wawasan abstrak
yang memerlukan sentuhan kreativitas untuk mawujud dalam tingkah, laku, gerak,
bunyi serta situasi.
Tetapi pada perkembangan
berikutnya, posisi naskah berkembang. Naskah dapat merupakan langkah yang
paralel dengan peristiwa penciptaan pertunjukan. Bahkan kadangkala naskah
adalah inventarisasi, dokumentasi, rekonstruksi atau perivikasi dan koreksi
dari apa yang sudah terjadi sesudah peristiwa pertunjukan. Sangat tergantung
dari proses penciptaannya dan siapa penciptanya. Arifin C. Noer misalnya,
sering menulis naskah bersamaan dengan latihan. (Saya sendiri menulis Matahari
Yang Penghabisan, sesudah mementaskan monolog tersebut secara improvisatoris di
Gedung BTN Yogya, pada tahun 1966. Naskah tersebut merupakan embrio pada naskah
KOK dalam kumpulan DAR-DER-DOR.)
Naskah drama sebagai karya
sastra, sedikit kalau tidak bisa dikatakan sangat berbeda dengan naskah drama
sebagai rencana pertunjukan. Naskah drama sebagai karya sastra, dapat dibaca
oleh pembaca sastra tanpa masalah dengan keindahan sastra yang tak menyusut. Ia
lengkap memberikan keterangan, diskripsi yang membuat pembaca mudah mengikuti
alurnya sebagai sebuah cerita.
Kalau pun tidak terlalu
banyak diskripsi, tetapi karakater sebagai motor-motor yang membangun konflik,
terpapar dan berkembang. Banyak yang memamerkan dialog-dialog puitis yang
mempesona dengan makna-maknanya yang mendalam, sehingga menjadi pameran dan
pertunjukan makna yang bisa bukan hanya dipentaskan tetapi dibaca ulang oleh
pembaca.
Banyak naskah drama
Indonesia yang tidak pernah/jarang dipentaskan, tetapi tetap tercatat sebagai
naskah drama yang penting dalam kazanah sastra Indonesia (Misalnya: Prabu dan
Putri karya Rustandi Kartakusumah, Jalanan Mutiara karya Sitor Situmorang),
Copet-Copet (Taufiq Ismail). Dan sebaliknya, banyak naskah drama yang
berkali-kali dipentaskan, tetapi tidak pernah menggerakkan sebuah penerbit pun
untuk menerbitkannya sebagai buku (baca: karya sastra). Misalnya: hampir semua
koleksi naskah Bank Naskah DKJ, hasil sayembara penulisan lakon.
Membaca naskah drama yang
karya sastra sama dengan kenikmatan membaca cerpen, novel atau puisi. Dalam format
sastra, penulis lakon berusaha membimbing imajinasi pembaca dengan berbagai
keterangan apa yang terjadi dengan selengkap mungkin. Tidak hanya untuk
mengumpan ide-ide sutradara yang akan memvisualkan naskah tersebut, tetapi juga
pembaca awam. Naskah drama semacam itu, tidak hanya skrip buat para pemain yang
berkepentingan untuk memainkan karakater-karakter dalam naskah, tetapi juga
umum, penonton yang akan menonton pertunjukan tersebut -- mungkin sekali
sebagian besar mereka tidak akan pernah sempat menonton naskah itu sebagai
pertunjukan. Teks mencoba menonton karya tersebut lewat tulisan dan sebagai
sastra.
Bahkan karena kepentingannya
menghadirkan keindahan bahasa/sastra, banyak sekali naskah-naskah drama
tersebut mengutamakan bahasa dan mengabaikan salah satu fungsinya sebagai
timbunan kemungkinan pengalihan laku ke atas pentas, sehingga ia hanya menjadi
semakin kental sebagai karya sastra. Ayip Rossidi menamakan naskah lakon
semacam itu sebagai drama kloset. Drama-drama yang berhenti sebagai bacaan saja.
Tetapi sebaliknya, banyak
juga naskah drama yang benar-benar merupakan bahan baku seorang sutradara atau
awak pentas, sehingga sebagai karya sastra ia susah dibaca. Tidak ada bimbingan
atau petunjuk emosional di dalamnya. Yang ada hanya dialog, sedikit
masalah-masalah teknis. Naskah lakon mejadi dingin dan penuh misteri. Ia
memerlukan pisau bedah dan analisa serta interptretasi. Naskah seperti itu
benar-benar merupakan "esen", bibit kemungkinan pementasan. Semakin
kaya, semakin unik, ia menjadi naskah lakon yang menarik karena bisa melahirkan
berbagai interpretasi. Naskah yang multiintrepretable semacam itu membuat dunia
naskah lakon menjadi kubu tersendiri dengan ahli-ahlinya, para pengamat dan
kritikusnya yang sudah tak terjangkau lagi oleh para pengamat sastra.
Naskah lakon yang
"dingin" seperti di atas itu, tak mungkin atau sulit langsung
dinikmati bagi mereka yang tidak terbiasa. Karena naskahnya sendiri tidak
mengandung keterangan bahkan menuntut pengembayangan imajinasi pembacanya.
Bahkan banyak sutradara-sutradara yang terpaksa bekerja dengan seorang
dramaturg (ahli sejarah teater) untuk dapat menemukan interpretasi yang
setidak-tidaknya tidak melempas dari benang merah naskah.
Naskah lakon memang makin
lama makin kering, langsung, tak banyak bunga-bunga. Namun bagi mereka yang
yang memiliki pengalaman pentas, dengan mudah akan keluar kandungan
adegan-adegannya, situasi, suasana, irama, tenaga dan pesonanya sebagai sebuah
pertunjukan yang bila diragakan baru terurai dengan melimpah.
Naskah-naskah drama yang
jenis kedua yang kering itu, oleh upaya penulisnya sendiri dicoba untuk
diterbitkan. Antara lain brsamaan dengan saat pertunjuannya, sebagai tambahan
informasi dan dokumentasi untuk penonton. Naskah-naskah tersebut praktis hanya
menjadi konsumsi sutradara dan pemain-pemain kalau mereka berminat untuk
mementaskan. Ditambah dengan dosen dan mahasiswa fakultas sastra yang sudah
mulai banyak memilih meneliti naskah drama untuk mendapat gelar sarjana atau
bahkan doktornya. Beberapa naskah Arifin C. Noer, (Tengul) dan naskah saya
sendiri (Gerr, Dor, Dag-Dig-Dug) sudah mulai dijamah oleh
penerbit dan bahkan setelah sepuluh tahun sempat mengalami ulang cetak 2 sampai
3 kali.
Lakon tertulis yang menjadi
sastra dan lakon tertulis yang tetap merupakan bahan pementasan, tidak untuk
dibandingkan sebagai acuan kualitas, tetapi sebagai hanya bentuk/model. Di
samping kedua model tersebut, masih ada model ketiga, sebagaimana yang
dilakukan oleh almarhum Motinggo Boesye, misalnya. Dia menuliskan kembali
naskah dramanya seperti Perempuan Itu Bernama Barabah, Malam Pengantin Di Bukit
Kera, Nyonya dan Nyonya, sebagai novelet. Saya sendiri menuliskan naskah drama
saya Bila Malam Bertabah Malam, supaya bisa diterbitkan. Dan itu menjadi buku
saya yang pertama. Pengarang drama paling terkemuka di Singapura, Kuo Pau Kun,
menuliskan salah satu karya monolognya yang penting: The Coffin is Too Big For
The Hole", langsung dalam bentuk cerita pendek.
Tetapi bagaimana pun juga
bentuknya, dunia mengakui naskah drama sebagai bagian dari sastra. Beberapa
kali penulis drama memenangkan hadiah nobel untuk kesusatraan. Antara lain
Samuel Beckett, misalnya.
Lepas dari bentuk penulisan
lakon, cara pemanggungan sendiri sudah mulai berubah. Pada era 70-an, setelah
berdirinya TIM di Taman Ismail Marzuki, teknik pemanggungan sudah mengalami
kemajuan pesat sekali. Kalau pda tahun 60-an Teater Indonesia di Yogya pimpina
Mat Dhelan, dengan sutradara Sumantri Sosrosuwondho melakukan pembaruan dengan
menghidupkan teknik pemanggungan "arena", TIM memulai tradisi efisien
dan efektif dalam set dekor, tata lampu, kostum, dan pengadegan. Dengan
mempergunakan level-level, boks dan tata lampu, kesulitan peralihan babak dapat
diatasi dengan mudah. Efisiensi dan praktisasi dalam kostum, karena sudah tidak
lagi mengacu kepada tradisi realis, menyebabkan pementasan relatif lebih murah,
lebih kreatif, lebih menawarkan banyak kemungkinan. Ini mendorong penulis
naskah lebih bebas mengembangkan naskahnya.
Tetapi kedudukan naskah juga
sudah mulai bukan lagi merupakan salah satu persayaratan mutlak pementasan.
Bengkel Teater WS Rendra lewat penulis Syubah Asa mementaskan puisi Berzanji
tanpa lebih dahulu menuliskan sebagai bentuk naskah drama. Kalau Arifin C Noer
menuliskan naskahnya sambil melakukan latihan, Teater Mandiri membuat
pementasan yang sama sekali tidak berdasarkan naskah pada tahun 1975 dan 1976
(Lho, Entah, Nol). Seorang aktor Teater Kecil, membawakan apologi pembelaan
Plato terhadap Socrates sebagai monolog. Rhadar Panca Sarjana, dari Gelanggang
Remaja Jakarta Selatan, pernah tampil dalam babak final Festival Teater Remaja
Jakarta dengan sama sekali tanpa naskah.
Banyak teater-teater muda di
Jakarta, Bandung, Solo, Yogya, tidak mendasarkan pementasannya dari sebuah
naskah, mereka mengambil puisi, cerpen, bahkan juga artikel atau esei untuk
menjadi plot atau "cerita" dalam pementasannya. Walhasil bukan saja
naskah drama tidak lagi selalu harus dikelompokkan sebagai karya sastra, tetapi
naskah drama sendiri bukan satu-satunya sumber sebuah pementasan.
Naskah drama pun mengalami
perubahan. Formatnya bisa berupa naskah yang konvensional sebagai cetak biru
pementasan. Tapi ada juga yang ditulis dengan gaya prosa, seperti yang
dilakukan oleh Motionggo B oesye dengan “Nyonya Dan Nyonya:, “Sepasang Pengangin
Di Bukit Kera.”
Perkembangan penulisan lakon
Indonesia seperti dianak-tirikan oleh sastra Indonesia.Pada awal penulisan
naskah drama,ketika drama banyak sekali diperguna an untuk mengekspresikan ide
Indonesia,naskah drama memang masih terasa sebagai bagian dari sastra
Indonesia.Walaupun banyak naskah-naskah itu lebih enak dibaca daripada
dimainkan. Bahkan mengandung kesulitan besar,sehinga ada naskah yang belum
sempat dimainkan kendati usianya sudah puluhan tahan.Ajip Rosidi menyebut itu
sebagai drama-drama kloset.
Dalam perkembangan
selanjutnya,naskah drama lebih erat hubungannya dengan pementasan.Dimulai oleh
Usmar Ismail ( Api ) dan Dr.Abu Hanifah ( Taufan Di Atas Asia ) dan
menjadi-jadi di masa jayanya Utuy Tatang Sontany ( Awal dan Mira ), drama benar-benar
merupakan karya sastra yang menuntut untuk dipentas kan. Dan pada jaman
Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ ,setelah berdirinya TIM yang melahirkan
ratusan naskah drama baru,naskah drama mulai terpental dari sastra karena
merupakan konsep-konsep pemanggungan.Kadangkala sebagai karya tulis agak sulit
dinikmati.Jarangnya penerbitan,tetapi justru makin banyaknya pementasan
menyebabkan naskah itu hanya tersimpan di Bank Naskah DKJ dan hanya merupakan
literatur - karya sastra "semu".Sebagaimana yang terjadi pada
lakon-lakon tak tertulis pada teater rakyat dan teater tradisional.
Ada masa teater
tradisionil-rakyat dibedakan dengan drama karena teater modern mempergunakan
naskah tertulis dalam bahasa Indonesia.Naskah pada teater rakyat & teater
tradisonal,sebagaimana dikenal dengan sebutan oral literature,adalah semu
karena wujudnya baru muncul setelah diragakan.Keadaan ini tentu saja banyak
mempengaruhi kualitasnya sebagai barang seni.Karena titik tolaknya pada
kemungkinan sebagai alat untuk diwujudkan.Kalau toh kemudian ditulis,(
sebagaimana terasa kalau membaca cerita Men Kelodang Keloncing yang coba
ditulis oleh Prof.Hoyskas dari mulut seorang Bali ) tidak sempurna bila
dibandingkan dengan karya yang memang sejak awal dimaksudkan untuk
dibaca,kemudian untuk diwujudkan sebagai pementasan.
Banyak hal tak tertulis
dalam drama kontemporer. Misalnya, irama,tekanan,tempo, kualitas ucapan,lagu -
yang bisa menghidupkan,hanya tersirat saja.Semua itu baru nyata setelah muncul
sutrada dan pemain mewujud kan ( dipraktekkan ).Dalam keadaan tertulis,drama
seperti barang mentah.Keadaan semacam itu berulang kembali pada naskah-naskah
drama Indonesia yang ada di dalam Bank Naskah DKJ.Mungkin ini sebabnya kritikus
sastra tak begitu mebicarakannya.Boleh dikatakan naskah drama Indonesia periode
setelah TIM berdiri terbuang dari sastra. ( Bedakan dengan pengertian : naskah
drama yang menolak sastra,sebagaimana terjadi dalam perkembangan naskah drama
Barat )
Tetapi kenyataan
tersebut,juga sekaligus merupakan bukti,bahwa kehidupan penulisan drama,tidak
lagi mengikuti tradisi Barat.Pada awal kegiatan penulisan drama di
Indonesia,bahkan sampai pada zaman Kirjomuljo dan Motinggo Bosye,naskah drama
masih ditulis sebagai sastra yang mengandung kemungkinan dipentas kas.Tetapi
sejak Arifin menulis Mega-Mega,kemudian disusul oleh
Kapai-Kapai,lalu muncul naskah-naskah Akhudiat,misalnya, yang benar-benar
merupakan embrio untuk dikembangkan dalam pementasan.Sesuatu yang tak cukup dan
kadangkala tak jelas hanya sebagai karya sastra.Namun usaha ini sama sekali
bukan sebagai usaha memberontak kepada sastra.Tak masuk akal.Karena Arifin dan
Akhudiat,misalnya,adalah seorang penyair yang sedikit banyak merasa dirinya
sastrawan dan menulis sastra.Tetapi ketika dia menulis drama,karena mereka juga
adalah sutradara yang memiliki kelompok teater dan biasanya menulis naskah itu
untuk kemudian disutradarainya sendiri,yang paling dipikirkannya adalah membuat
patokan-patokan yang dapat dipakai pegangan oleh pemain.
Pristiwa penulisan naskah
dalam teater Indonesia kontemporer,sejak berdirinya TIM ( untuk mengambil
sekedar ancang-ancang waktu ) sejiwa dengan keadaan pada teater tradisional dan
teater rakyat.Yakni menuju pada sasaran pertunjukan.Tidak semuanya memang.Dan
karena para penulis drama tersebut memang pada hakekatnya adalah
sastrawan,semua karya-karya dramanya itu,meskipun lebih ditujukan pada
pemanggungan,tetapi tetap merupakan hasil sastra yang baik.Di sini bedanya
dengan oral literature ( Indonesia - seperti cerita Men Kelodang-Keloncing )
yang murni.Contoh yang baik untuk uraian ini mungkin Kapai-Kapai Arifin C.Noer.
Sebelum era tradisi
baru,penulisan lakon berikut pemanggungannya mengikuti tradisi teater Barat.
Penulis lakon tradisi baru menggali bentuk dan jiwa teater
rakyat/tradisional,memiliki wujud lain.Kondisi penonton dan latar belakang
orang Indonesia diperhitungkan.Baik itu karena akibat langsung dari penulis
sendiri yang keindonesiannya tidak lagi merupakan slogan,tetapi sudah ekspresi
.( Ini erat hubungannya dengan usaha
menutup-nutupi perbedaan latar belakang di masa lalu,karena cita-cita
persatuan.Akibatnya warna lokal,hal-hal yang sangat subjektif pada pengarang
seperti tertahan.Yang muncul adalah segala sesuatu dalam formulasi
kesatuan.Namun kini setiap
orang merasa bebas mengemukakan
unsur-unsur daerah,segala keunikkannya yang berbeda dengan orang lain.Karena
itu tidak lagi menimbulkan sengketa,justru orisinalitas pengarang.Sebagai
contoh,muncul Arifin dengan latar belakang Cirebon dan riwayat laluny sebagai
keluarga pedagang sate.Akhudiat dengan ludruk dengan kentrungan.Wisran Hadi
dengan randai.Rendra dengan ketoprak,wayang yang terasa amat Jawa.Bahkan Teguh
Karya gelisah mencari ke Bali lewat Jajaprana dan Batak,lewat Machbet dan
film-filmnya.Semua itu dilakukan tak sengaja dan sekaligus sengaja.
Bukan hanya dalam penulisan
, seni pertunjukan pun mengalami perkembangan yang sangat pesan. Idom –idion
dari pertunjuakn tradisi baik bentuk dan jiwanya, b aik struktur maupun
kearifan l;okalnya diserap oleh perftunjukan modern . Dengan sangat deras telah
terjadi pembelokkan arah pertunjukan,bukan lagi sebagai sesuatu yang
kaku,formal,resmi,tetapi sebagai tontonan.
Di dalam tontonan ada
jalinan yang akrab antara penonton dan yang ditonton.Tontonan menjadi peristiwa
bersama,sebagaimana terasa juga di dala mpertunjukan di masa-masa yang lalu.Dan
keadaan inilah yang dapat membawa teater kontemporer kembali dekat dengan
lingkungannya.Itu semua terjadi berkat saling gesek-menggesek yang begitu
intensif dan gencar di TIM.
Kata tontonan sendiri,bukan
kata yang baru di Indonesia.Kata itu hidup dan merupakan istilah sehari-hari
yang dipahami oleh setiap orang. Di balik kata yang sederhana itu,serta dapat
diresapi oleh semua orang Indonesia,tersimpan kebijaksanaan,ada sebuah dunia
yang besar sekali.
Realisme Dalam teater Indonesia
Pada pertengahan abad ke 18
dan 19 dunia mengalami peralihan luar biasa. Masyarakat agraris berubah menjadi
masyarakat industri. Era revolusi industri itu ditandai oleh berbagai fenomena
yang spektakuler. Kapitalisme yang sudah lahir sebelumnya disusul dengan
doktrin sosialisme. Adam Smith, Karl Marx mengubah pandangan dunia. Revolusi
pecah di mana-mana. Dan kehidupan teater juga bergerak..
Realisme berkembang di abad
19 sebagai reaksi terhadap romantisme. Estetika baru ini mengajak orang untuk
menilai atau melihat sesuatu dari kemampuannya merepresentasi kenyataan yang
obyektif secara kasat mata. Citra seni ini tak hanya selera tetapi pandangan
mendasar yang punya filosofi tersendiri. Dalam sastra kita kenal toloh-tokoh
realisme seperti realisme yang antara lain diwakili oleh Balzac, Flaubert,
Dickens, Thackeray, Tolstoy, Dostojewsky, Ibsen. G. Keller, Th Fontane. Pada
abad ke-20 di dalam realisme sendiri berkembang bermacam-macam aliran. Ada
realisme magis, surealisme, realisme sosialisis, realisme baru yang lebih
dikenal sebagai pop-art serta metarealisme.
Teater realis adalah teater
yang tidak lagi sibuk melakukan pemujaan terhadap dewa Dyonesos sebagaimana
terjadi pada saat kelahiranya di masa Yunani purba. Tetapi kini terpaku pada
kenyataan-kenyataan sosial. Problematika sehari-hari yang menyebabkan manusia
tergilas oleh kemiskinan, perang, konflik dan sebagainya, membuat manusia ingin
melihat tidak hanya buah pikiran dan cita-cita, tetapi kenyataan kasat mata yang
konkrit di depan mata. Shakespearre yang mengajak teater berfilsafat, sudah
menjadi monumen, kini teater melihat kepada realita.
Realisme di dalam teater
datang dengan seluruh perangkat nilainya yang baru. Cara pemanggungan, teknik
bermain serta penulisan naskah yang sudah tidak lagi seperti sebelumnya. Teater
tidak lagi menjadi hiburan raja-raja dan tentang raja-raja, tetapi juga milik
orang biasa dengan cerita orang biasa. Seorang aktor teater dari Rusia bernama
Konstantin Sergeyevich Alekseyep Stanilavsky ( Moskow 17 Januari 1863-7 Agustus
1938), menyusun metode seni laku yang bagaikan revolusi dalam teknik pemeranan.
Dengan catatan kehidupannya dalam My Life in Art yang kemudian menjadi salah
satu buku putih buat aktor-aktor di dalam teater realis, Stanilavsky bicara
tentang “kebenaran sejati, kebenaran dalam”. Sampai sekarang Stanilavsky
dianggap merupakan seorang Einstein di dalam seni peran. Di Indonesia namanya
juga selalu disebut-sebut, meskipun tak semua orang memahami apa yang
diajarkannya.
Bagi seni pertunjukan
tradisi di Indonesia, realisme adalah penumpang asing yang baru datang sudah
langsung main kayu. Tanah asalnya yang dari Barat menjadi semacam kompetensi
yang menjadikan bentuk berekspresi tersebut, seperti boleh menggurui seni
pertunjukan tradisi yang pada dasarnya bersifat stilisasi.
Maka terjadilah
realismelisasi, sehingga teater modern Indonesia mulai melepaskan unsur ritual
dan spiritual, untuk lebih mengkhususkan teater menjadi dialog antar manusia.
Pertunjukan bukan lagi percakapan langsung manusia dengan alam, bukan lagi
bagian dari kehidupan spritual pribadi para pemain dan penonton, bukan lagi
peristiwa zikir bersama dalam menghayatiNya. Pertunjukan menjadi semakin
bertutur, runtun, konkrit, jelas, tertata, rasional, semakin teknis, terkemas
dan menghibur. Pada akhirnya tontonan menjadi barang komoditi.
Hal penting yang
disumbangkan oleh realisme di dalam teater adalah sebuah doktrin yang secara
kuat sekali membuktikan bahwa teater adalah peralatan sosial. Dengan mengolah
emosi, teater menjadi salah satu mesin empati yang dapat mempengaruhi jiwa
manusia. Teater menjadi sarana yang andal dalam upaya manusia berkomunikasi
sesamanya di dalam pergaulan, dengan berbagai muatan, baik psikologi, politik,
filsafat bahkan juga idiologi dan relegi. Teater menjadi kendaraan serba-guna
yang dapat mengangkut berbagai pesan dengan amat intensif dan efektif terutama
karena kemasannya yang semakin menarik, sebagai lawan bahwa sebelumnya isinya
yang merupakan primadona.
Sejak berdirinya ATNI pada
tahun 50-an di Jakarta, yang dibidani oleh Usmar Ismail dan Drs Asrul Sani,
sastrawan pelopor Angkatan 45, teater Indonesia modern mengalami transformasi
yang penting. Seni pertunjukan yang dikenal dengan sandiwara (kabar-rahasia),
tonil, pertunjukan Dardanella, komidi Bangsawan, mendapat pasokan ilmu seni
pertunjukan baru yang disebut realisme. Panggung, layar, lampu, tata busana,
tata rias, tata rupa dan seni laku, dan sebagainya mengajarkan pakem-pakem baru
yang mengacu kepada kebenaran kasat mata. Cerita pun jadi berbeda. Tema,
struktur, plot dan sebagainya mengajak pertunjukan mempersoalkan
masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang lebih “wajar”
dengan psikologi sebagai panglimanya. Pertunjukan bukan lagi merupakan
“upacara” bersama, kenduri, tetapi seni pengulangan kenyataan hidup
sehari-hari.
Seluruh cabang kesenian yang
menyatu dengan seni laku dalam teater tradisi, dipreteli. Teater menjadi sarat
dengan tutur sehingga terasa lebih memihak pada para intelektual. Teater
tradisi yang tidak hanya berkiblat pada seni laku (tapi gabungan antara tari,
seni, suara, seni laku, ritual agama bahkan sering berbagai upacata magis)
tiba-tiba menjadi seperti rusa masuk kampung di dalam habitatnya sendiri. Bukan
saja karena ilmu (jalan pikiran) teater realis tidak lebih dahulu dipahami,
sebelum mencobakan bentuknya, tapi karena seluruh fenomena sosial di dalam
kehidupan sehari-hari kita, tidak memungkinkan realisme (baca:Barat) itu
dipraktekkan.
Manusia Indonesia seperti
dilukiskan oleh pertunjukan wayang, duduk dengan tertib dalam melakukan
rembukan. Wajahnya tidak mencerminkan perasaannya. Geraknya minimalis. Intonasi
suara monoton. Bahkan dalam berdebat dan marahpun tak ada pergolakan dalam
suara dan laku. Dan di puncaknya, adegan perkelahian pun lebih merupakan
gerakan stilisasi tari, yang hanya menyarankan ide. Sering diiringi dengan
menembang. Baru belakangan ditambah dengan seni pencak dan akrobatik. Ini tak
sesuai dengan tuntutan realisme Barat. Teater realis yang memukau karena para
pemain bisa bebas bergerak dan berekspresi dan memang terbiasa mempertontonkan
emosi dengan tubuh dan suaranya, terganjal oleh estetika timur yang cendrung
menahan diri dan menstilisasi segalanya dalam simbol-simbol.
Rasa yang menjadi acuan
utama di dalam teater tradisi, dengan berbagai ritus yang menjadi motornya --
karena seni petunjukan memiliki fungsi relejius, sosial dan pewarisan kebijakan
lokal kepada generasi berikutnya -- menjadi kehilangan kesakralannya oleh
pendekatan realis. Teater pun menjadi seperti film yang diragakan dan berubah
dari upacara meditasi menjadi pertunjukan yang berkiblat pada permintaan pasar.
Dan di situ kita memang sama sekali tidak siap. Ketrampilan untuk
mengemas/menjual pertunjukan teater yang di masyarakat Barat sudah tersusun
menjadi ilmu produksi teater, sama sekali sesuatu yang baru yang belum pernah
dipelajari dengan sungguh-sungguh di Indonesia.
Percobaan terus dilakukan
tetapi kemudian membuat pertunjukan teater realis yang rationya merakyat itu
justru menjadi semakin jauh dari masyarakat/rakyat/. Itu terjadi karena
kurangnya kemampuan untuk merepresentasikan realita dari sudut pandang wujud
nyatanya, kemudian realita dalam teater realis justru menjadi hanya cita-cita.
Pertunjukan realis menjadi justru menjauhi kenyataan. Dan masyarakat
menolaknya. Sampai kemudian orang-orang teater realis itu terpaksa belajar
bagaimana menampilkan realita di atas panggung dengan lebih pas. Yang sering
dilupakan, kenyataan bahwa sesungguhnya di dalam teater tradisi yang tidak
realis, masyarakat merasakan realita jati diri mereka.
Para penulis drama mencoba
membuat naskah-naskah mengambil model sandiwara Shakespeare. Lahirlah karya
seperti Prabu dan Putri, karya Rustandi Kartakusuma, misalnya. Terlepas dari
nilai sastranya, kelahiran naskah tersebut tidak diimbangi dengan penguasaan
penampilan seni pertunjukan, sehingga realisasi pertunjukannya benar-benar tak
bisa “memikat”. Nakah-naskah yang disebut oleh Ajip Rosidi drama kloset itu,
sepertinya ditulis hanya untuk dibaca saja. Ia merupakan bagian dari dunia
sastra. Ketika diwujudkan sebagai pertunjukan ia mengalami kegagapan baik
karena potensi visual yang terbatas maupun karena kemampuan memvisualkan yang
juga masih kurang.
Salah satu hal yang
menyebabkan teater realis menjadi seperti “lebih bule dari orang bule” adalah
karena naskah yang dimainkan kebanyakan berasal dari Barat.Tak banyak naskah
drama Indonesia ditulis. Sebagai akibatnya para pemain pun bergaya seperti yang
dipelajarinya dari pastur-pastur bule yang berkotbah dengan pengucapan yang
dikaku-kakukan. Gaya kebule-bulean itu membuat teater realis di Indonesia jadi
tidak realistis. Mungkin itu juga dipacu oleh jiwa stilisasi yang sudah
mengakar, sehingga secara bawah sadar selalu kambuh-kambuh lagi. Akibatnya
kendati mencoba bermain realis, tetap saja para pentolan teater realis
melaksanakan/dipengaruhi oleh pakem teater tradisi.
Sebaliknya dari menjadi
“tontonan” sebagaimana yang sudah terjadi pada teater tradisi, teater realis
lebih mengarah kepada siksaan yang menyebalkan. Pergantian dekor yang ditandai
oleh keributan panggung dan bunyi palu (karena dulu umumnya teater masih
merupakan suguhan tumpangan dalam sebuah perhelatan) membuat teater
ditinggalkan oleh publik. Padahal seni pertunjukan seperti wayang, ketoprak,
lenong, arja dan sebagai, tetap diminati oleh rakyat. Tetapi kedatangan
realisme dalam teater Indonesia bukan tanpa hasil. Usmar Ismail (terkenal
dengan karyanya: Api, Citra, Liburan Seniman) dengan perkumpulan sandiwara
Citra di masa perjuangan phisik sudah berhasil membentuk komunitas teater
realis. El Hakim (Dr. Abu Hanifah) juga menulis naskah Taufan di Atas Asia yang
menunjukkan bahwa teater terkait dengan politik. Jepang memobilisasi teater
untuk memperopagandakan cita-cita Asia Timur Raya. Bung Karno sendiri dalam
masa pembuangannya di Bengkulu, mengadakan pertunjukan sandiwara.
Baru di masa sesudah
kemerdekaan, ATNI (1950-an) dan kemudian diteruskan oleh Teater Populer di
bawah pimpinan Teguh Karya (salah satu murid terbaik Asrul Sani) , benar-benar
menjadi pertanda penting usaha mengejar ketertinggalan ilmu teater realis.
Perlahan-lahan tapi terbukti, realisme dalam teater bisa dibujuk, ditegakkan
dan kemudian dicakok dalam agenda penonton Indonesia, lalu ditumbuhkan menjadi
salah satu aliran berteater. ATNI dan Teater Populer yang mempelajari realisme
dengan sungguh-sungguh, berhasil membentuk komunitasnya. Buku tuntunan tentang
bagaimana menjadi seorang pemain realis pun diterjemahkan oleh Asrul Sani dari
karya Bolelavsty, berjudul : “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor”. Di
Yogya ada ASDRAFI- Akademi Seni Drama dan Film yang didirikan oleh Sri Murtono,
menyusul akademi teater di Bandung yang kemudian disusul dengan jurusan teater
di ASTI. Lalu jurusan teater di Instituit Kesenian Jakarta dan ISSI Yogya.
Teater Populer dengan
Sanggar Karya di Hotel Indonesia termasuk produktif dan melahirkan
pemain-pemain hebat seperti Slamet Rahardjo dan Tuty Indra Malaon. Karya-karya
Ibsen, Tenesse William, Athur Miller, Gogol, Molierre, O’Neil, Moliere, Shaw,
Strindberg dan sebagainya diperkenalkan pada penonton Indonesia. Di Bandung
sudah lama ada STB dengan Jim Liem dan Suyatna Anirun yang memperkenalkan Anton
Chekov. Di Yogya ada Teater Indonesia dengan Mat Dhelan dan Sumantri
Sosrosuwondo serta Kirjomulyo yang mempopulerkan bentuk teater arena dan
berkeliling dengan drama satu babak “Pinangan” (Anton Chekov). Di Jakarta ada
The Jakarta Players yang sempat secara berkala main di TIM dengan mempergunakan
bahasa Inggris.
Belum lama terbit buku “Lima
TahunPertama Actors Unlimited – 1999-2004” yang menjelaskan bahwa selain STB,
di Bandung ada usaha menegakkan teater realis yang serius. Dengan tekun
kelompok ini telah mementaskan: Art (Yasmina Reza), opera La Boheme (Giacommo
Puciini), Faust (Goethe), Anarkis Itu Kebetulan (Datio Fo), Senja Dengan Dua
Kematian (Kirjomulyo), Pangeran Sunten Jaya (Saini K.M), Suara-Suara Mati
(Manue; van Longgem), Antigone (Jean Anoulh), Musuh Masyarakat ( Hendrik
Ibsen). Salah seorang aktor dan pendekarnya yang sudah berkepala enam, Moh. Sunjaya,
sangat enerjetik dan heroik dalam membela keaktoran. “Tidak bisa
berhenti,”katanya dengan semangat menyala-nyala.
Realisme setelah melukai,
mulai mendapatkan tempatnya dalam teater Indonesia modern. Tetapi bukan tanpa
resiko. Keberadaannya ternyata membuat jarak antara teater tradisi dan teater
modern. Teater tradisi yang non realis kemudian berinteraksi dengan teater
modern yang non realis dan melahirkan satu bentuk teater Tradisi Baru dengan
tokoh-tokoh seperti Rendra (Bengkel Teater), Arifin C
Noer (Teater Kecil), Teater Mandiri dan kemudian disusul oleh Teater Saja (
Ikra Nagara), Wisran Hadi (Bumi Teater), Budy S. Otong (Teater SAE) , Dindon
(Teater Kubur) dan Yudi dari Teater Garasi serta Teater Payung Hitam (Rachman
Sabur) dsb.nya. Sementara teater realis yang berkiblat pada realisme Barat
dengan Stanilavsky sebagai nabinya mencapai puncaknya pada Teater Populer
dengan sutradara Teguh Karya.
Dalam Festival Teater Remaja
Jakarta (dimulai 1974) , kelompok Teater Remaja Jakarta Pusat pimpinan Aldizar
Sjafar, dengan setia menampilkan drama-drama realis dan kemudian menghasilkan
pemain seperi Dedy Mizwar. Teater Koma, pimpinan N.Riantiarno, sedikit banyak
awalnya juga berbasis teater realis, kemudian menjadi lebih berat ke drama
musikal dan parodio-parodi yang kadangkala menjadi karikatural. Nama-nama yang
terus setia mengembangkan teater realis adalah almarhum Wahyu Sihombing,
Pramana Pmd, dan kini Jozep Ginting dari Teater Lembaga( IKJ)
Kebangkitan realisme dalam
teater Indonesia telah ditandai karya-karya yang bagus dari Utuy Tatang
Sontany. Dari tangannya mengalir karya seperti: Awal dan Mira, Bunga Rumah
Makan, Di Langit Ada Bintang, Sayang Ada Orang Lain. Karta-karya tersebut bukan
hanya dibaca, tetapi juga dimainkan di mana-mana. Utuy sampai sekarang boleh
dianggap salah satu puncak pengarang drama realis Indonesia. Ia menajamkan lagi
realisme di dalam teater dengan realisme sosial, antara lain dalam karyanya
Selamat Jalan Anak Kufur.
Menyusul Utuy, Yogya
melahirkan Kirjomulyo dengan “Penggali Intan”. Kemudian Nasyah Djamin dengan
“Titik-Titik Hitam”, Motingg Boeye dengan “Malam Jahanam” Di Jakarta muncul
Misbach Yusa Biran dengan “Bung Besar”. Generasi selanjutnya antara lain bisa
disebut: Kuntowijoyo, Arswendo Atmowiloto, Riantiarno dan Saini Km.
Perjalanan teater realis di
Indonesia tak berhenti setelah memperoleh kapling hidup. Dalam pertumbuhannya,
realisme teater di Indonesia berbeda dengan realisme seperti yang ditemukan di
Malaysia. Realisme Indonesia telah terkontaminasi oleh berbagai masukan dari
teater tradisi yang diam-diam namun dengan hebatnya membelokkan perjalanan
teater modern Indonesia tidak ke realisme Barat tapi pada realita manusia
Indonesia yang dalam tanda kutip, akrab dengan, dalam tanda kutip lagi, apa
yang disebut Martin Esselin “teater absurd.”
Teater Populer Teguh Karya
mementaskan Jayaprana, Perkawinan Darah dan Macbeth yang sudah tak setia pada
pakem realismenya. Bahkan Wahyu Sihombing yang begitu patriotik mengembangkan
realisme di IKJ, tiba-tiba mementaskan drama absurd Waiting for Godot (Samuel
Beckett). Tapi sebaliknya, Rendra, mementaskan Kereta Kencana karya Ionesco
dalam Art Summit II dengan gaya realis yang memukau, meskipun juga dicela
karena merusak absurditasnya.
Ada pembauran, interaksi dan
lalu-lintas yang sangat semrawut tetapi sekaligus bebas dan akrab dalam
kehidupan teater modern Indonesia. Pakem-pakem realisme tidak sepenuhnya
dikuasai, tetapi juga tak sepenuhnya menguasai. Sehingga terjadilah pergaulan
bebas yang intensif antara berbagai kemungklinan/aliran teater. Saya menyebut
suasana itulah yang membuat periode 70-80-an menjadi
masa yang sangat kreatif dan produktif dalam teater modern Indonesia dan
menghasilkan karya-karya dan pertunjukan yang penting. Hasil-hasilnya menjadi
Tradisi Baru yang bisa menjadi referensi teater modern Indonesia kini --
setelah hampir 40 tahun Taman Ismail Marzuki, yang menjadi tempat
berlangsungnya interaksi itu, berdiri. Sayang sekali kita tidak memiliki
dokumentasi lengkap yang tertata sehingga seluruh peristiwa “tawan karang”
teater Indonesia terhadap realisme, tidak terpampang jelas.
Metabolisme teater di
Indonesia yang sangat dipengaruhi secara mendasar oleh teater tradisi, belum
pernah membuat realisme teater hidup dengan murni. Apakah ini semacam
kemalangan/kekurangan atau kelebihan, sangat tergantung dari pemahaman kita
masing-masing. Saya pribadi selalu melihatnya sebagai kelebihan. Tetapi memang
resikonya kita jadi terpaksa harus pergi ke mancanegara kalau ingin menikmati
teater realis yang sesungguhnya. Dan pasar teater seperti Broadway mungkin tak
akan pernah benar-benar terbentuk di Indonesia.
Teater Kontemporer Indonesia
Sejak berdiri TIM kehidupan
teater kontemporer Indonesia galak. Kehidupan teater modern Indonesia yang
semula jelas terpisah dari kegiatan teater tradisional/rakyat, mulai berkaitan
dan bahkan meluruh. Keramaian pertunjukan di TIM, menimbulkan interaksi yang
gencar antara kelompok teater modern Indonesia dengan teater tradisional/rakyat
(wayang, ketoprak, ludruk, dagelan Mataram, Srimulat, makyong, mamanda, lenong,
arja, reog dan sebagainya). Dan pada gilirannya juga terjadi persentuhan dengan
kelompok-kelompok asal mancanegara. Baik rombongan teater, tari, musik dari
Barat: Eropa, Amerika; maupun Timur: India, Cina, Jepang.
Interaksi itu menimbul
produksi-produksi yang membawa pembauran antara nilai-nilai modern dengan
tradisional, Barat dengan Timur. Juga terasa ada penggalian pada tradisi
Indonesia sendiri secara sadar dan intens. Tradisi tidak lagi hanya dipuja atau
ditolak, tetapi dikembangkan dan dihidupkan sehingga aktual. Baik kepada
bentuk-bentuk pertunjukan, struktur penuturan atau penulisan lakon,
teknik-teknik pengadegan, kostum, rias dan seni laku. Jiwa teater tradisional
dan teater rakyat Indonesia -- baik sebagai ''ritus'' maupun ''tontonan'' --
berkembang kembali dalam teater kontemporer. Kombinasi atau peluruhan itu --
dengan referensi bandingan perkembangan teater mancanegara -- menimbulkan
bentuk-bentuk pertunjukan dan naskah ''baru''. Kontemporer sekaligus
tradisional.
Sebagai contohnya:
pertunjukan ''Oedipus'' oleh Bengkel Teater. Pertunjukan ''Jayaprana'' oleh
Teater Populer dan pertunjukan/naskah ''Kapai-Kapai'' oleh Teater Kecil.
Pertunjukan-pertunjukan puncak di TIM, pada era akhir 60-an sampai pertengahan
70-an kemudian menjadi referensi bagi kegiatan teater kontemporer Indonesia
selanjutnya. Demikian keras pengaruhnya terhadap perkembangan berikutnya,
sehingga lahir sebuah ''tradisi baru''yang menjadi panutan perkembangan teater.
Dengan ''tradisi baru'' itu,
Teater kontemporer Indonesia tidak lagi hanya merupakan tiruan atau terusan
dari tradisi teater Barat. Tetapi kehidupan teater yang memiliki identitas
sendiri. Karenanya untuk dapat memahami atau menikmati teater kontemporer
Indonesia akan lebih afdol kalau disertai pengetahuan tentang '' tradisi baru
itu''. Itu berarti harus menyimak pada proses ''interaksi'' yang terjadi di TIM
antara nilai modern-tradisional serta Barat-Timur.
Banyak kritisi telah salah
menilai teater kontemporer Indonesia. Karena mereka hanya menganalisa dengan
referensi teater Barat. Akibatnya fatal. Teater kontemporer Indonesia hanya
menjadi bayang-bayang tradisi Barat. Memang ada tradisi teater Barat di
Indonesia. Misalnya pada pertunjukan-pertunjukan ''The Jakarta Players''. Pada
ATNI (Akademi teater Nasional Indonesia) lewat tokoh-tokohnya: Wahyu Sihombing,
Asrul Sani, Wahab Abdi, Pramana Pmd, Teguh Karya. Sementara dalam penulisan
naskah, karya-karya Iwan Simatupang. Tapi itu hanya sebagian kecil dari
kehidupan teater kontemporer Indonesia.
Teater kontemporer Indonesia
tidak hanya diisi/dipengaruhi oleh tradisi Barat, tapi juga oleh tradisi Timur
lainnya, seperti India, Cina dan Jepang dan terutama oleh tradisi teater
tradisional/rakyat Indonesia sendiri. Pada era 70 dan 80, pencarian dan
eksperimen berhasil menemukan beragam bentuk-bentuk dan nafas baru yang
bersumber pada tradisi Indonesia. Isi teater kontemporer Indonesia kemudian
jadi penuh dengan corak, warna, gaya dan jalan pikiran masing-masing kelompok.
Ada: Bengkel Teater (WS Rendra),
Teater Kecil (Arifin C.Noer), Teater Populer (Teguh Karya), STB (Suyatna
Anirun), Teater Sardono, Wayang Buda (Suprapto), Teater Mandiri (Putu Wijaya),
Teater Saja (Ikranegara), Bumi Teater (Wisran Hadi), Teater IKJ (Institut
Kesenian Jakarta), Teater Koma (N.Riantiarno), Teater Keliling (Dery) kemudian
Teater Sae (Budi Otong), Teater Dinasti (Fajar Suharno), Teater Gandrik (Jujuk
Prabowo) dan Teater Kubur (Dindon). Diikuti dengan lahirnya naskah-naskah drama
baru yang ditulis oleh Arifin C.Noer, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Akhudiat, Zaini
KM, Freddy Kastam Mastra, Noorca Marendra, Ikranegara, Kuntowijoya, Yudhistira
A.Nugraha, Danarto, N.Riantiarno dsb.nya.
Tidak hanya di Jakarta. Di
beberapa kota besar Indonesia kehidupan teater kontemporer berkembang. Yang
pantas disebutkan adalah Bandung dan Yogyakarta. Di Medan ada Teater Nasional
yang dipimpin oleh Zakaria M.Passe. Kemudian di Ujung Pandang
pementasan-pementasan dipimpin oleh Aspar. Di Surabaya ada sutradara Sunarto
Timur dan Akhudiat. Juga Lampung, Malang, Tegal, Banjarmasin (Ajim Ariadi),
Denpasar (Abubakar) dan Singaraja (Silur, Gde Dharna).
Kehidupan teater kontemporer
Indonesia memasuki era tahun 90-an menghadapi beberapa dilema. Teater cenderung
menjadi barang komoditi. Teater tidak lagi diharapkan merupakan proyek rugi
kesenian, tetapi profesi dari para pendukungnya. Ini melahirkan bisnis teater.
Sesuatu yang baru. Menejemen, impresario, publikasi, kemudian mulai
mempengaruhi kehidupan penciptaan. ''Process oriented'' mulai digeser oleh ''product
oriented''. Teater Koma (N.Riantarno) sangat sukses memasuki era ini.
Beberapa teater melakukan
pendekatan kepada bisnis teater dengan lebih berhati-hati. Mereka berusaha
tetap pada nilai-nilai ekspresi. Misalnya Bengkel Teater, Teater Kecil dan Teater
Mandiri. Sementara beberapa teater lagi berusaha bertahan untuk murni
berekspresi. Misalnya Teater Sae (Budi Otong) dan Teater Kubur (Dindon) yang
mengarah pada eksperimen-eksperimen.
Perlahan-lahan ada arus
balik. Penonton di Jakarta merindukan kembali kehadiran realisme teater Barat.
Pertunjukan yang memberat dan berbau eksperimen dihindari. Komedi yang menjurus
pada dagelan amat digandrungi. Penonton pertunjukan-pertunjukan teater, baik
lokal maupun dari mancanegara, secara umum menipis. Hanya Teater Koma sukses
mengadaptasi keadaan, padahal misalnya hiburan Srimulat, Jakarta, yang pernah
begitu meledak bubar total.
Eksperimen dan pembaruan
yang gencar pada tahun 70-an terhenti. Puncak-puncak prestasi teater di
tahun-tahun itu belum terulang lagi. Ini semua pastilah bukan semata-mata
masalah teater. Tapi efek sampingan perkembangan masyarakat yang meletakkan
nilai-nilai ekonomi di atas segalanya. Para anggota masyarakat yang didera
persaingan yang semakin ketat, konon menderita kelelahan jasmani dan rokhani.
Mereka memerlukan ventilasi yang disebut hiburan. Tak peduli itu berarti
''pembodohan''.
Teater kontemporer Indonesia
kini sedang menghadapi dilema di gerbang pasar. Ada pembalikan. Nilai-nilai
kultural bisa dianggap sebagai ''pembodohan'' karena tidak mendatangkan uang.
Keadaan ini mungkin akan berlangsung sampai masyarakat jenuh sendiri. Apalagi
kalau orang-orang teaternya semua memilih untuk beradaptasi.
Teater Kontemporer
Sudah lama dunia ini
dibedakan dengan Barat dan Timur. Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai
dipatok dalam dua gawang. Buruk dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah
disederhanakan menjadi kanan dan kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah.
Sudah lama wanita dikategorikan dengan jegeg dan bocok. Dan pada gilirannya
juga sudah lama seni dikampling menjadi dua pulau. Tradisional dan modern.
Pertunjukan tradisional dan pertunjukan kontemporer.
Menyederhanakan persoalan,
biasanya selalu dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau
pun politis. Yaitu: menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang
telak, mendalam dan tuntas menjawab seluruh persoalan. Sebab dengan hanya dua
kategori semacam hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu
refleksi khas, spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah
barang, yang harus disusun dengan teratur, agar memudahkan para tuan-tuan untuk
memanfaatkannya. Walhasil pendewa-dewaan pada apa yang disebut: efisiensi.
Moderninasi semacam itu,
mungkin amat berguna pada masyarakat tertentu, tatkala orang baru belajar untuk
mepergunakan akal. Ketika orang berusaha memisahkan rasa dengan pikir. Waktu
orang jatuh cinta untuk menguasai alam. Ketika orang sedang memuja-muja
logika/teknologi, sebagai instrumen yang paling menjamin sebagai kendaraan
untuk memenangkan masa depan umat manusia. Ketika orang dengan membabi-buta
mengaplikasi matematika dan mencoba menerapkannya pada segala sektor kehidupan,
tak terkuali juga kesenian dan bahkan masalah-masalah yang sakral.
Maka terjadilah satu
keseragaman berpikir, yang dikuntit oleh pemujaan kepada intelektualita, yang
percaya bahwa semuanya sudah diberikan kerangka. Mereka yakin tidak ada
fenomena yang tidak bisa dianalisa. Tidak ada sesuatu yang baru yang tidak
dikenal. Semua sudah terdeteksi. Semua sudah terangkum dalam sebuah peta agung
yang bisa menerangkan segalanya. Semua bisa dilacak dengan struktur berpikir
yang sudah ada.
Konsep kontemporer, menolak
pembunuhan diri seperti itu. Manusia tidak perlu menciptakan kuburan-kuburan
untuk manusia-manusia yang masih hidup. Tidak perlu mendirikan liang-liang
mosolium yang tak lebih dari benteng kepala batu yang ngotot karena sudah malas
untuk berpikir, mempertimbangkan sekali lagi segala keputusan untuk melihat
kemungkinan baru.
Konsep dasar kontemporer
adalah pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah -- bukan saja
kedaluwarsa, akan tetapi juga bisa -- berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi
dan dekadensi.
Seni kontemporer sebagai
bagian dari pelafalan konsep kontemporer, selalu membebaskan diri dari
kemacatan pada satu nilai yang semula disangka sebagai sumber segalanya,
padahal segala sesuatu itu ternyata sudah bergeser dan menjungkir-balik
segala-galanya. Karena semuanya tak tercegah, tak dapat disekap dari hukum
kehidupan, untuk selalu bergerak mengikuti nafas waktu, ruang, serta
kembang-kempis alam pikiran yang tak henti-hentinya, yang tak takut oleh apa
pun, untuk terus tumbuh. Pertumbuhan yang abadi. Ketika kehidupan diupayakan
oleh manusia untuk hadir lebih baik, mendarat lebih lentur, lebih berarti dan
lebih menghayat, segalanya juga ikut bergulir.
Usaha untuk mengaktualisasi
diri, agar jadi sinkron dan menyuarakan zamannya, agar kontekstual dengan
konteksnya, agar "menjati diri", dapat ditempuh dengan berbagai cara.
Bisa mengejewantah dalam berbagai variasi bentuk. Tergantung dari
desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Tergantung dari bibit-bebet-bobot.
Tergantung dari watak-perilaku-lingkungan-peradaban dan pendidikan yang
bersangkutan. Tergantung dari derap dharma individu atau kelompok yang
berkepentingan.
Bisa keras mengental
bagaikan jotosan tangan yang terkepal. Bisa berupa pembrontakan spiritual dan
konfrontasi argumen. Dapat juga lemah gemulai seperti tarian oleg tamulilingan
atau gesekan rebab. Mungkin juga teror mental. Berseloroh seperti badut-badut
dalam adegan bebagrigan. Juga bukan tak mungkin ngepop seperti di dalam
kesenian-kesenian kacangan atau jajanan yang dikemas khusus untuk para turis.
Pertunjukan Indonesia
kontemporer, sebagai bagian dari seni Indonesia kontemporer, adalah anak dari
konsep kontemporer. Segala tontonan yang mengandung arti, misi, gebrakan bahkan
cukup percobaan, untuk membebaskan diri dari kungkungan waktu, tempat, situasi;
gondelan nilai-nilai usang, mayat-mayat pengembaraan spiritual yang tidak
relevan lagi --- adalah pertunjukan kontemporer. Karenanya, pertunjukan
kontemporer, bukan hanya tontonan yang diciptakan dan dilaksanakan oleh manusia
masa kini, tetapi harus tidak boleh kurang dari pertunjukan yang mencerminkan
cita-rasa pembebasan.
Wujudnya bisa pertunjukan
eksperimental, yang merupakan usaha untuk pencarian-pencarian idiom dan bahasa
pengucapan yang baru/segar. Dapat berwujud pertunjukan konvensional, yang
memanfaatkan semua konvensi pertunjukan yang sudah diterima oleh masyarakat, namun
memberikan nuansa yang baru atau lain/lebih segar dari sebelumnya. Dan -- ini
yang seringkali dilupakan -- dapat juga merupakan pertunjukan seni tradisional
yang baik karena kemasan-semangat-orientasinya, maupun saat dan tempat
penampilannya, memungkinkan ia bersentuhan dengan manusia-manusia masa kini,
sehingga menghadirkan pengalaman spiritual yang aktual.
Di masa yang akan datang,
apa yang dipersoalkan sebagai perbedaan-perbedaan akan dibunuh atau terbunuh
dalam interaksi dan adaptasi. Yang kemudian menonjol adalah nuansa-nuansa yang
yang menggantikan istilah perbedaan-perbedaan. Dan karena perbedaan berarti
nuansa, maka perbedaan tidak lagi sesederhana hitam kontra putih, kiri versus
kanan, buruk lawan baik, atau tradisi lawan kontemporer saja, tetapi akan hadir
ribuan, jutaan atau tak terhingga nuansa yang memerlukan cara berpikir baru --
baca kontemporer -- untuk menguasainya. Nilai-nilai bertumpukan,
tumpang-tindih, nyaris membingungkan, dalam satu susunan harmoni baru yang tak
terbayangkan sebelumnya.
Akan diperlukan setiap saat
cara memberikan kesaksian yang baru. Cara berekspresi baru untuk mengutarakan
kebenaran-kebenaran yang terus tumbuh itu. Akan diperlukan bahasa yang baru,
untuk memenangkan dan mengucapkan kenyataan-kenyataan yang terus bergerak itu.
Apa pun bentuk, apa pun namanya, itu adalah bahasa kontemporer.
Desa-kala-patra adalah
konsep yang mendasari selurup konsep kontemporer, termasuk konsep tontonan
Indonesia kontemporer. Sesuatu yang pada dasarnya sudah terpraktekkan secara sehari-hari
di Bali. Desa-kala-patra adalah keterikatan pada desa-kala-patra yang aktual
dan sekaligus pembebasan pada desa-kala-patra yang kedaluwarsa. Konsep dasar
kontemporer, dengan sendirinya adalah juga konsep dasar pertunjukan Indonesia
kontemporer.
Hampir semua penghuni seni
tontonan tradisional Bali adalah seni kontemporer. Karena bukan saja dulu
ketika ia diciptakan untuk pertama kalinya, ia merupakan ucapan keberadaan
orang Bali, tapi sampai sekarang, ia tetap kukuh menjadi pengucapan diri orang
Bali kini. Hujan parawisata, telah menolong seni pertunjukan Bali itu, tetap
hidup menggebu-gebu. Sementara kesinambungan seni pertunjukan itu dengan
hal-hal yang bersifat sakral, sebagaimana yang ditulis oleh Doktor I Made Madem
dalam buku "Kaje dan Kelod", telah membuat hampir semua jenis
pertunjukan itu tak pernah menjadi jerangkong tok. Tapi berdegup hidup.
Berdarah, berdaging dan bernyawa. Semua seni tontonan itu menjadi aktual,
relevan dan mewakili zaman. Dia senantiasa bergerak sesuai dengan desa-kala-patra,
sejalan dengan manusia-manusia Bali yang sedang ada.
Bahkan seni pertunjukan yang
langka digeber, seperti gambuh, seperti topeng pajegan, misalnya, dalam
kesepiannya di dalam peti, tetap berinteraksi dengan zaman, melalui/karena
orang-orang Bali sendiri selalu bersentuhan dengan nilai-nilai aktual dan
universal lewat konsep desa-kala-patra. Begitu dia dapat kesempatan tampil,
kita tidak usah terkejut, karena ia langsung memuncratkan ciri-ciri
kontemporer.
Teater tradisi Bali, tak
perlu susah-susah mempermasalahkan apa konsep-konsep pertunjukan kontemporer,
karena sudah melaksanakannya. Memang orang-orang dari belahan yang menyebut
dirinya pulau kontemporer, umumnya justru mempermasalahkan hubungannya dengan
tradisi, karena tidak melihat kaitan dirinya secara langsung dengan
bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisional. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali
tidak menyangkut hal-hal yang konsepsual, tetapi sekedar kemasan, yang dapat
langsung diselesaikan dengan mengubah cara melihat "perbedaan"
sebagai "nuansa". Karena tiadanya hubungan yang bersifat phisikal,
tidak berarti, ada jurang pemisah. Justru tidak adanya persamaan-persamaan di
dalam bentuk-bentuk pengucapan, sering akan mempertemukan yang saling kontra
itu secara spiritual, karena lahirnya kebutuhan untuk saling mengisi. Walhasil,
ketiadaan hubungan, otomatis adalah juga hubungan. Itu cara berpikir konsep
kontemporer.
Tak pernah sungguh-sungguh
ada pertentangan antara hitam dan putih. Tak pernah benar-benar ada konfrontasi
antara buruk dan baik. Tak pernah ada jurang antara kawan dan lawan. Dan tak
pernah ada masalah antara tradisi dan ekspresi kontemporer. Yang ada adalah
kealpaan untuk mengakui keberadaan nuansa-nuansa di antara kedua kutub
tersebut, yang tak terhingga jumlahnya. Keterbatasan untuk menangkap yang ada,
dari sesuatu yang selalu dianggap tidak ada, karena adanya usaha untuk membuat
penyederhanaan -- hitam-putih -- yang kadangkala sedemikian keji dan
semana-menanya.
Kesalahkaprahan dalam
membuat peta, yang kemudian membuat kita menjadi benar-benar buta dan tuli,
adalah bencana tetapi sekaligus hikmah yang telah melahirkan konsep
kontemporer. Sebuah usaha untuk menangkap dengan lebih jujur, bulat, lengkap
dan tuntas apa saja. Alhasil sebuah upaya, tetapi sama sekali bukan tujuan. Karena
dia juga akan terus bergerak, sesuai dengan desa-kala-patra. Seni
Pertunjukan Dan Pencekalan
Para seniman Indonesia di
Jakarta, sempat berbondong-bondong untuk curhat, mengadu serta menuntut ke DPR,
pada 1990. Pasalnya kebebasan berekspresi para seniman terganggu akibat adanya
pencekalan oleh aparat keamanan terhadap pertunjukan drama (Suksesi, Opera
Kecoak oleh teater Koma, N.Riantiarno) dan pembacaan puisi (WS.Rendra).
Tindakan tersebut dinilai sebagai pengumbaran kekuasaan oleh penguasa yang
sangat berbahaya bagi aspirasi merdeka dalam demokrasi.
Menko Polkam masa itu
Jendral Sudomo kemudian mengundang para seniman berdialog sambil memberikan
pencerahan. Menurut beliau hal itu terjadi karena izin untuk mengadakan
pertunjukan disamakan dengan izin keramaian. Maka dicarilah solusi, dalam
praktek ke depan, untuk kegiatan kesenian yang nyatanya bukan keramaian biasa,
aparat berwenang mesti berkonsultasi dengan komunitas budaya yang terkait dan
kompeten, seperti Dewan Kesenian misalnya.
Paparan itu dapat
menjinakkan keberangan para seniman. Walau pun tidak ada aturan yang resmi yang
mengatakan bahwa kegiatan pertunjukan dibebaskan dari izin polisi, para seniman
merasa suaranya sudah tertampung. Berbeda dengan keramaian yang mengandung
pengertian kerumunan manusia dalam jumlah yang tak terbatas di tempat terbuka
dan tanpa pengarahan, pertunjukan adalah sesuatu yang terbatas, terfokus
terencana dengan missi, pesan dan target yang jelas dalam kemasan yang
artistik. Jadi disepakati, dianggap cukup nyaman ketika pertunjukan tidak lagi
dikreteriakan sebagai keramaian.
Memang kemudian sejak itu
tidak ada lagi (baca: mereda) kasus pencekalan yang dapat menimbulkan
keberangan. Apalagi sesudah masa reformasi. Hukum dan kekuasaan seperti lumpuh
tak berdaya untuk mengawasi “keramaian:. Seni pertunjukan sendiri pun sudah
meluber tanpa aling-aling menjadi alat politik dalam percaturan kekuasaan,
bukan semata-mata pengejaran nilai-nilai artistic lagi. Pertunjukan gentayangan
di jalanan dalam berbagai demo. Sebagaimana drama di masa Jepang yang
difungsikan sebagai alat propaganada Asia Timur Raya atau berbagai pertunjukan
rakyat di masa menjelang peristiwa G-30-S yang menjadi senjata partai, seni
pertunjukan menjadi bagian dari keramaian untuk menggasak kekuasaan yang ingin
ditumbangkan. Batas antara keramaian dan pertunjukan mengabur.
Kini 10 tahun sudah
reformasi. Keramaian sudah sangat terbiasa mempergunakan pertunjukan sebagai
potensi untuk membuat peristiwanya ramai. Pantomime bermunculan di mall, demo
memanfaatkan teater, upacara pembukaan/peringatan digelar sebagai sebuah
pertunjukan. Para pemimpin politik membaca puisi. Dan sebagainya. Sedangkan
pertunjukan sendiri karena persaingan dan kebuuhan hidupnya, mulai membutuhkan
dukungan publikasi yang dapat menjadikan tontonannya sebuah peristiwa (yang
ramai) sehingga ekspresi mulai memperhitungkan kemasan yang bisa bikin ramai.
Keramaian sudah menjadi bagian pertunjukan. Pertunjukan sendiri sudah
mendekatkan dirinya dengan sengaja menjadi keramaian.
Kalau melihat ke belakang
pada penyelenggaraan pertunjukan dalam tradisi kita, pertunjukan memang adalah
keramaian. (Dari dua VCD rekaman yang dikeluarkan oleh LPSN, Endo Suanda,
tentang seni pertunjukan, jelas sekali setiap pertunjukan selalu menciptakan/diikuti
dengan keramaian). Tak ada pertunjukan yang semata-mata hanya pertunjukan.
Mesti terkait dengan hajat lain, baik upacara keagamaan, selamatan perhelatan,
peringatan peristiwa, perayaan hari-hari penting atau “terapi sosial”. Dan itu
merupakan peristiwa bersama yang digelar di tempat yang terbuka, dinikmati oleh
masyarakat. Pertunjukan selalu adalah keramaian.
Dalam tradisi kita, kalau
ada pertunjukan, seluruh masyarakat akan ikut memestakan. Tak hanya sebagai
penonton, tetapi juga sebagai pendamping. Para pedagang makanan akan datang
berbondong-bondong dari berbagai pelosok. Tak jarang tukang obat pun akan ikut
nimbrung menggelar sulap dan permainannya. Pasar malam tidak akan afdol tanpa
ada pertunjukan. Setiap pertunjukan juga menciptakan semacam pasar malam.
Pertunjukan dalam tradisi
kita selalu menjadi sebuah peristiwa bersama, kesempatan berkumpul,
bersosialisasi. Bagi kawula muda, keramaian pertunjukan itulah kesempatan
mereka bertemu dan memadu janji. Jadi nilai sosial (baca: nilai keramaian)
setiap pertunjukan sangat tinggi.
Di beberapa wilayah, kita
menjumpai pertunjukan yang digelar untuk mengusir wabah, untuk mengundang
hujan, mensyukuri panen raya, menitipkan pesan pada masyarakat (misalnya:
pembatasan kelahiran dalam keluarga berencana), sehingga seni pertunjukan
memiliki fungsi sebagai terapi sosial.
RRI studio Denpasar di tahun
60-am pernah menyelenggrakan sebuah pertunjukan arja (opera Bali) dengan tema
maulud nabi. Kejadian itu lewat sebagai peristiwa kecil yang tidak diramaikan
oleh koran, tetapi sebenarnya sebuah penanda yang sangat penting dalam
menunjukkan bahwa seni pertunjukan menjadi perekat perbedaan. Menyatukan
berbagai unsur yang berbeda dalam masyarakat. Keramaian dalam pertunjukan bukan
berarti kehebohan tetapi perdamaian.
Dengan terpisahnya “hajat”
dari pertunjukan, karena pertunjukan mulai menjadi barang komoditi, pertunjukan
tidak lagi dilakukan di ruang bebas yang terbuka bagi siapa saja. Lokasinya
pindah ke dalam gedung yang tertutup, yang hanya bisa dikunjungi oleh
pengunjung terbatas yang diundang atau membeli tiket. Tetapi ini tidak berarti
dampak keramaiannya hilang. Para wartawan, saksi budaya yang mengikuti
peristiwa itu, dapat meramaikannya dengan tulisan yang bisa menggerakkan
keramaian di seluruh negeri, kemudian. Jadi kendari pertunjukan disembunyikan
di dalam gedung, bahkan di ruang terbatas pun, tetap tak akan bisa lepas dari
kaitannya dengan “keramaian”.
Kalau begitu, apakah
pertunjukan memang perlu diawasi karena dapat menyulut keramaian (baca: kehebohan)?
Dibatasi baik dengan keharusan ada izin dari aparat keamanan atau sensor dari
badan sensor yang dibentuk negara? Tak hanya bagi pertunjukan yang
diselenggarakan di ruang publik yang terbuka, juga yang tertutup dan terbatas?
Dengan kata lain, apakah
untuk membuat pertunjukan memerlukan izin? Dan kalau sudah menjadi produk
apakah sebuah pertunjukan harus disensor sebelum boleh digelar untuk umum?
Di masa Orde Lama dan Orde
Baru, pernah ada kesulitan dalam menyelenggarakan pertunjukan, karena naskahnya
terlebih dahulu harus diperiksa oleh kepolisian. Pembuatan film juga harus
didahului dengan pendaftaran judul dan pemeriksaaan skenario oleh Departemen
Penerangan.
Di era sesudah reformasi
ini, kita baru saja mendapat “hadiah” dari DPR dengan UU Pornographi yang
sebelumnya bernama RUU APP. Beberapa ketentuan di dalam beberapa pasal UU yang
ingin memulyakan/membela martabat wanita dan anak-anak itu dapat ditafsirkan
begitu rupa, sehingga akan banyak sekali hal-hal yang biasa ditemukan dalam
seni pertunjukan tiba-tiba “haram” bila kini dilaksanakan. Goyang pantat para
penari Bali, pundak terbuka para penari gamyong, bisa ditafsirkan sebagai
pemicu nafsu cabul sebagaimana yang dilafalkan dalam batasan pornographi
sehingga dapat “diramaikan” (baca: ditindak)
Seni pertunjukan nampaknya
sedang menghadapi pintu yang menyebabkan harus ada pilihan. Apakah pertunjukan
adalah keramaian sebagaimana yang kita kenal dalam tradisi dan kini suka tak
suka dipicu menjadi keramaian oleh era industri? Sebagai konsekuensinya, aspek
“ramainya” harus diterima dengan ikhlas dan tidak dipukulrata sebagai penyulut
kehebohan.
Atau pertunjukan akan
dipaksa mutlak mesti memperoleh izin, agar terpisah dari keramaian dan dilarang
keras untuk bikin ramai (baca: heboh). Pertunjukan dengan demikian hanya akan
menjadi rakitan dan akrobatik artistik yang tidak punya kaitan sosial dengan
kehidupan luas.
Lebih jauh lagi, apakah
semua produk seni pertunjukan wajib lulus sensor agar tidak menjadi kehebohan
apabila dilepas di ruang publik yang ramai? Ini berarti keleluasaan berekspresi
yang dibuka krannya oleh reformasi, surut kembali untuk kemudian sama sekali
tertutup.
Kenyataan bahwa begitu
banyak perbedaan (kebhinekaan) di dalam masyarakat kita yang menjemuk, pernah
kita lupakan, untuk menyatukan tekad agar bisa lepas dari penjajah. Ide tentang
kemerdekaan dalam Kebangkitan Nasional 100 tahun lalu, 20 tahun kemudian pada
1928 melahirkan Soempah Pemoeda. Kita mengaku satu nusa, satu bangsa dan satu
bahasa. Seakan-akan tidak ada perbedaan sama sekali. Tapi Bung Karno dalam
Lahirnya Panca Sila, mengingatkan kembali bahwa kita adalah masyarakat mejemuk
bagai sebuah taman dengan banyak bunga, tetapi perbedaan itu disyukuri sebagai
kelebihan. Keramaian adalah kekayaan. Maka kita kenal apa yang disebut Bhineka
Tunggal Ika.
Izin, sensor dan
undang-undang adalah perangkat lunak dalam berokrasi dalam mengatur kehidupan
masyarakat dalam sebuah negara. Sepanjang itu tidak memusnahkan “keramaian yang
kita artikan sebagai “kelebihan” (merujuk pada keterangan Bing Karno) , ia akan
menjadi perangkat yang tidak hanya menertibkan tetapi juga menyemarakkan
keramaian.
Tetapi kalau kemudian
“perangkat lunak” itu mengekang dan menjegal kebebasan apalagi menodai hak
azasi manusia, berarti sudah menjadi bumerang. Untuk mencegah terjadinya akibat
buruk,diperlukan kecermatan di dalam eksekusi/aplikasinya. Aturan-aturan umum,
tidak berlaku pada wilayah yang memiliki adat-istiadat yang berbeda. Maka
aturan-aturan umum mengenai izin, sensor dan perundang-undangan, harus benar-benar
merujuk pada citra, waktu dan tempat di mana perangkat lunak itu hendak
diberlakukan.
Terhadap poduk seni
pertunjukan, karena berbeda dengan produk-produk lain, produk seni pertunjukan
harus diatur secara khusus. Sama-sama menjadi keramaian, tetapi produk seni
pertunjukan memiliki sifat-sifat keramaian yang berbeda dengan keramaian lain,
misalnya rapat umum, pertandingan olahraga.
Pada seni pertunjukan di
tempat terbuka memang diperlukan izin untuk menyelenggarakan pertunjukan tetapi
tidak perlu untuk tempat tertutup apalagi tempat terbatas. Produk pertunjukan
di tempat terbuka bisa disensor, tetapi pertunjukan untuk tempat tertutup
(termasuk semua yang memakai karcis) cukup dengan klasifikasi umur. Sedangkan
untuk pertunjukan terbatas, tidak perlu ada sensor, hanya perlu kepastian siapa
penanggungjawabnya.
Seni pertunjukan adalah
sebuah produk budaya. Di dalamnya terkandung berbagai aspek kemanusiaan yang
sangat penting dalam pengembangan jatidiri manusia dan penciptaan kehidupan
bermasyarakat yang lebih sempurna. Estetika dalam seni pertunjukan bukan hanya
keindahan tetapi berbagai pemaknaan yang arif pada semua desiplin. Di dalamnya
ada nilai moral, pendidikan, sosial bahkan juga sakral.
Dalam produk pertunjukan,
hiburan bukanlah tujuan, tetapi hanya salah satu potensi. Tujuan pertunjukan
adalah pertemuan rasa. Pertunjukan membiasakan manusia untuk menonton,
mendengar, menerima, mempertimbangkan, mengandaikan, membayangkan, menyimak,
merasakan, memikirkan, mencari kalau perlu merombvak, mengubah,
mengkombinasikan, menghubungkan, mempertemukan, pendeknya memotivasi untuk
melakukan hal-hal yang tak terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya, untuk
menjemput kehidupan di masa lalu, kini dan depan dengan lebih peka, waspada dan
arif.
Seni pertunjukan adalah
pembelajaran yang halus terhadap kehidupan, pergaulan, hubungan kemanusiaan,
pencarian diri/identitas, bahkan juga pemahaman pada kehadiran individu di
tengah masyarakatnya. Sehingga seni pertunjukan tidak hanya akan membuat
seseorang menjadi “seniman” tetapi manusia yang lebih memahami kehadiran orang
lain dalam kehidupan. Pembelajaran seni pertunjukan pun memerlukan jurus-jurus,
kiat dan perllu sekali pendekatan yanglebih tepat, mungkin sekali berbeda dari
apa yang selama ini sudah dilaksanakan dalam pendidikan.
Seni pertunjukan seperti
yang diisyaratkan oleh seni tradisi kita adalah sebuah sekolah non formal yang
sangat deras nilai-nilai didaktisnya. Apabila ini disadari dengan sempurna, tak
pelak lagi, seni pertunjukan akan menjadi perangkat keras yang sangat penting
dalam pengembangan dan peningkatan kualitas “manusia masa depan” kita. Itu
berarti sikap baru pada seni pertunjukan wajib menjiwai semua usaha pembuatan
peraturan dan perundang-undangan, sehingga akan ada perlakuan yang lebih arif kalau
tidak bisa dikatakan lebih adil bagi seni pertunjukan. Seni pertunjukan
Indonesia tidak hanya akan sampai pada keramaian yang dapat memicu kehebohan
atau “kelangenan” yang menyebabkan kita menjadi lupa, alpa, mabok dan tidak
awas terhadap tugas dan arti kehadiran. Seni pertunjukan membawa kita pada
seluruh sektor kehidupan dengan berbagai aspeknya dengan lebih bijak.
Teater/Seni
Pertunjukan Sebagai Ilmu
Drama di negara-negara
berkembang baru dicobakan untuk menjadi profesi. Tetapi nampaknya langkah ke
arah itu masih terlalu jauh. Masalahnya berbagai teater tradisi yang sudah
hidup di kalangan rakyat luas, lebih banyak merupakan paguyuban. Para pelakunya
adalah anggota komunitas yang memiliki pekerjaan lain untuk menyambung
hidupnya. Teater lebih merupakan pengabdian sosial dari individu anggota
masyarakat untuk kehidupan bersama.
Dalam diskusi pemberdayaan
teater rakyat di Serang, Banten pada tahun 2005, seorang pemimpin teater rakyat
curhat. Dia menceritakan bagaimana sulitnya hidup dengan teater. Walaupun
kelompoknya tergolong langka dan paling terkemuka, tetapi pendapatannya tak
tentu, tergantung dari kerelaan yang memesan. Hal itu mengingatkan Jogja di
tahun 60-an. Setiap kali pementaskan drama kelompok drama urunan biaya
produksi. Karcis yang dibagikan gratis pun belum tentu dapat mengundang
pengunjung.
Kini di banyak kota di
seluruh Indonesia, bisa dijumpai kegiatan/kelompok drama. Paling tidak di
sekolah-sekolah. Dengan sederhana diselenggarakan pergelaran pada hari ulang
tahun sekolah, hari-hari besar atau malam perpisahan di akhir tahun ajaran.
Guru-guru menulis naskah, atau mengambil cerita dari legenda dan sejarah. Tak
jarang cuplikan dari khazanah teater dunia seperti karya Shakespearre, Albert
Canus, Jean Paul Sartre, Molierre, Ionesco dan Bekett muncul, meskipun dengan
amat sederhana. Di radio Jogja, Jawa Tengah, pada tahun 60-an almarhum
Soemardjono, penyiar radio yang mencintai drama, pernah memainkan Macbeth dalam
bahasa Jawa.
Berbeda dengan cabang
kesenian lain, seperti tari, seni rupa dan seni suara, yang sudah dapat menjadi
sandaran hidup, drama masih merupakan kegiatan para amatiran. Sekedar hobi.
Tetapi justru karena posisinya itu, drama memiliki kesempatan yang bagus untuk
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan. Karena tidak mengejar keuntungan,
kegiatan drama jadi tetap terpelihara sebagai kantung bersosialisasi dalam
masyarakat.
Tak sebagaimana asal
muasalnya di masa Yunani Kuno, ketika drama merupakan dialog manusia pada dewa
Dyonisos, dewa anggur, dewa kesenangan, dewasa ini drama merupakan ajang dialog
antar manusia. Di komunitas drama yang amatiran, drama menjadi alat “gaul”.
Kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Alat mengenal pendapat-pendapat,
sikap dan watak orang lain yang berbeda.
Dalam kelompok drama ada
proses produksi yang menjadi pembelajaran berorganisasi. Dalam kelompok drama,
para anggota belajar bekerja bergotong-royong. Mencari pengalaman
menyelenggarakan perhelatan. Berkenalan dengan orang baru. Berlatih
menghilangkan demam panggung di depan khalayak ramai. Membiasakan mempergunakan
bahasa dengan baik, berbicara dengan jelas dan formal. Mematuhi desiplin.
Drama bukan hanya sebuah
pertunjukan tetapi juga seluruh aspek kegiatannya. Ada organisasi dan
pertemuan-pertemuan. Ada persiapan, perencanaan, pembagian tugas, penentuan
target dan skejul dan latihan-latihan.
Di situ ada kepemimpinan,
kekeluargaan, solidaritas dan pembelajaran bekerja sebagai sebuah tim.
Ada naskah yang harus
dibahas, dianalisa dan didiskusikan. Ada pemilihan pemeranan. Ada study dan observasi.
Ada pembuatan set, kostum, property, usaha pencarian dana, publikasi dan
strategi penjualan karcis.
Di Indonesia hampir semua
kelompok drama -- biasanya disebut kelompok teater -- berdiri karena ada
seorang tokoh sentral. Jim Adi Limas dan Suyatna Anirun (Study Club Teater
Bandung, STB), W.S Rendra (Bengkel Teater), Teguh Karya (Teater Populer),
Arifin C Noer (Teater Kecil) adalah sosok-sosok yang memiliki keahlian lebih,
hingga menarik dan memancarkan karisma. Mereka menjadi pemimpin, guru bahkan
juga sering pembentuk watak anggota-anggotanya. Tokoh sentral itu mirip seorang
“pemimpin spiritual” yang membawa kelompoknya membentuk kepribadian dan tingkah
laku anggotanya, di samping mempopulerkan gaya pementasan yang tersendiri.
Di dalam drama, banyak
hal-hal yang tidak bisa dilakukan dalam keadaan sehari-hari dimungkinkan. Para
pelaku bisa berteriak, marah-marah, melakukan perbuatan yang sama sekali di
luar watak aslinya. Pemain drama dapat mengucapkan banyak hal yang baru dan
mengalami emosi yang belum pernah dirasakannya dalam kehidupan nyata. Ia bisa
menjadi orang lain. Sesuatu yang dia sukai atau mungkin dibenci, tetapi tak
bisa ditolak karena itu sudah menjadi perannya. Mau tak mau harus ia simak dan
laksanakan dengan tekun.
Batin seorang yang terjun
dalam kesibukan pemeranan akan bertambah kaya. Ia bisa keluar dari dirinya,
sehingga lebih mengerti bagaimana dunia yang sebenarnya. Melihat berbagai
perbedaan pendapat, sikap dan pandangan hidup orang lain. Memahami berbagai
watak sehingga ia lebih paham lagi siapa dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa
drama mengantarkan seseorang untuk mengenal orang lain sebagai jalan untuk
pencarian dirinya.
Seorang yang sebelumnya
sangat pemalu dan jarang berbicara, setelah mengikuti latihan drama, mulai memiliki
rasa percaya diri. Ia pun menjadi orang baru yang tidak takut bergaul. Seorang
yang gagap berbicara, sehingga menghambat usahanya mencari pekerjaan, setelah
mengikuti latihan drama jadi pasih.
Seorang yang tertekan dan
eksentrik, tidak bisa dimengerti oleh keluarganya, setelah ikut latihan drama,
menjadi normal. Seorang yang aneh suaranya kalau berbicara, tercekik dan
menyakitkan telinga, setelah mengikuti latihan drama, suaranya berubah, lepas,
keras tetapi empuk.
Drama memang sudah lama
dianggap sebagai alat “penyembuhan”. Berpotensi menyeimbangkan, menyelaraskan
jiwa manusia yang tertekan. Pak Kasur, tokoh pendidik dan pencinta anak
Indonesia pada tahun 70-an, mengajak orang-orang yang mendapat gangguan jiwa di
Rumah Sakit Jiwa Grogol untuk main drama. Kita lihat ada pekerja sosial di
Afrika mengajak anak-anak jalanan untuk mengekspresikan dirinya dengan main
drama dan berhasil.
Bung Karno, presiden pertama
Indonesia, dalam masa pembuangannya di Bengkulu oleh Belanda, menulis dan
mementaskan drama. Mantan Perdana Mentri Inggris, Margareth Tacher konon pada
awal-awal menjabat, mendapat pengarahan yang khusus dalam membawakan teks
pidatonya, seperti disutradarai. Karya besar Samuel Beckett berjudul Waiting
for Godot yang memenangkan hadiah nobel, ketika dipentaskan di sebuah penjara
di Amerika, mendapat sambutan yang gegap gempita.
Seorang sutradara senior
pernah memberikan bimbingan acting untuk 100 orang top menejer Unilever,
perusahaan terkemuka di Jakarta. Akting sudah mulai dipakai untuk mencetak
menejer, seperti terbukti larisnya buku panduan berjudul: Leadership Presence.
Drama memang mengolah
berbagai emosi, memiliki potensi untuk memupuk empati. Itulah yang kemudian
menumbuhkan tenggang-rasa seseorang kepada manusia lain. Walhasil drama berpotensi
meningkatkan rasa kemanusiaan. Mengasah batin manusia untuk hirau kepada
sesamanya. Dengan demikian dapat dikatakan drama membantu meningkatkan kualitas
sumber daya manusia.
Sebenarnya drama, diajarkan
atau tidak, dimasuki atau tidak, disadari atau tidak, sudah dilakukan oleh
setiap orang di dalam kehidupan. Setiap hari, setiap orang sebenarnya adalah
seorang pemain drama. Seorang pegawai, ketika mengenakan seragam yang biasa
dipakai di kantornya, telah meninggalkan perannya sebagai seorang suami atau
istri dalam rumah-tangga, untuk menjadi bos atau pesuruh di kantornya.
Seseorang yang berada dalam
kesedihan karena ada sahabatnya yang meninggal, terpaksa harus mengganti
perannya sebagai orang yang gembira dan banyak senyum, dalam resepsi
pernikahan. Sebaliknya seorang majikan yang sangat senang karena sopirnya yang
badung berhenti bekerja, terpaksa berpura-pura sedih berhadapan dengan istri
sopirnya yang kebingungan karena suaminya jadi pengangguran.
Seorang ibu harus tersenyum,
meskipun ia cemas melihat anaknya yang gagal. Seorang ayah berpura acuh tak
acuh saja melihat anaknya memperoleh promosi dalam pekerjaannya, karena ia
tidak mau kegembiraannya akan membuat anak itu sombong.
Seorang pemimpin tetap
tenang dalam keadaan kritis agar pengikutnya masih bisa bertahan, padahal yang
pertama sudah menyerah adalah dia sendiri. Seorang panglima dengan gagahnya
bertempur paling depan, padahal sebenarnya dialah yang paling takut.
Semuanya itu adalah drama.
Tak seorang pun bisa menghindari bahwa dia sudah main drama. Karena kehidupan
sendiri adalah sebuah drama yang besar.
Tapi main drama di atas
pentas, berbeda dengan menjalani drama kehidupan nyata. Dalam kehidupan, tidak
ada permainan. Tidak ada latihan. Tidak ada sentuhan-sentuhan artistik.
Terutama sekali tidak ada penonton. Semuanya dilakukan tanpa ada pilihan yang
lain. Sedangkan di dalam main drama, semuanya sebenarnya adalah sebuah
pengulangan yang sudah dilatih, dipilih-dipilah dengan teliti.
Dalam kehidupan yang
sungguh-sungguh orang tidak bisa berpura-pura. Di dalam drama orang
berpura-pura tetapi dengan sangat sungguh-sungguh. Dalam kehidupan yang
sesungguhnya, sebagian orang tak bisa menarik manfaat dari
pengalaman-pengalaman drama kehidupan. Tetapi dalam drama yang pertunjukan,
semuanya adalah hasil pelatihan dan pembelajaran. Di dalam kehidupan sebenarnya
orang yang mengalami bisa tak mengalami. Di dalam drama, orang yang tak
mengalami harus mampu mengalami.
Itu semua menegaskan bahwa
drama mengolah rasa. Peristiwa tersebut penting dalam menjaga kualitas manusia
pada saat perkembangan teknologi begitu pesatnya sehingga manusia cenderung
hanya mengutamakan pikir/akal. Kegiatan drama menyebabkan wirasa yang
terus-menerus ditumbuhkan kepekaannya agar tetap ada harmoni, sehingga batin
manusia seimbang.
Drama membantu perkembangan
jiwa manusia. Membimbing manusia tidak melempas dari rel kemanusiaan. Baik
sebagai pelaku, hanya penonton atau pengamat, setiap orang mendapat
pembelajaran spiritual dari drama. Dengan mengalami persoalan-persoalan kemanusiaan,
drama mengolah watak dan menempa kedewasaan.
Peran drama dalam membina
jatidiri manusia sangat besar. Karena itulah dalam peringatan-peringatan hari
besar atau hari bersejarah bahkan hari-hari suci, sering dipertunjukan
fragmen-fragmen (petilan drama) yang dapat mengembalikan wirasa manusia ke masa
itu.
Negara, sebagai organisasi
formal sekaligus sakral yang bertugas melindungi warganya, kadangkala lupa pada
potensi budaya. Teknologi, ekonomi dan politik sering menjadi primadona
sehingga budaya diposisikan sebagai anak tiri yang sudah bisa berjalan dengan
sendirinya. Itu keteledoran besar.
Potensi kesenian sebagai
bagian dari budaya (dalam hal ini drama) pun dinafikan sebagai aset negara.
Padahal sudah jelas sekali orang pergi ke China selain untuk melihat Tembok
Besar China juga karena mau menonton Opera Beijing. Orang ke Jepang tak hanya
karena ingin melihat gunung Fuji tetapi juga menonton Kabuki. Orang ke Bali tak
hanya karena warisan budaya yang terus hidup tetapi melihat kecak.
Antonin Artaud mendapat
inspirasi setelah melihat tarian Bali, sehingga dia merumuskan konsep “teater
kekerasan” yang menjadi salah satu pilar referensi dalam perkembangan teater
modern dunia. Bertolt Brecht mendapat pengaruh dari Opera Beijing. Sedangkan
Peter Brook, sutradara kondang asal Inggris yang menetap di Prancis melakukan
workshop di Agfrika dan belajar banyak dari persentuhannya dengan kultur
setempat.
Teater tradisi adalah bagian
dari kehidupan sosial dan spiritual. Banyak pesan-pesan moral dilekatkan pada masyarakat
lewat teater. Norma, etika, kepribadian ditanamkan lewat pertunjukan.
Pesan-pesan resmi untuk warga dari penguasa sudah biasa disalurkan lewat dialog
para pemain. Teater rakyat memiliki fungsi sebagai kanal-kanal untuk
menggemboskan tekanan, sehingga kehidupan tidak selalu berada dalam ketegangan.
Dalam tradisi, teater adalah
therapi sosial. Ada jenis pertunjukan yang khusus digelar pada saat-saat ada
wabah sebagai tolak bala. Ada juga yang merupakan syarat untuk kelengkapan
upacara tertentu. Ada yang merupakan kaul. Berbagai kebutuhan ini menunjukkan
bahwa teater bukan hanya hiburan, tetapi memiliki berbagai tuah, meskipun
memang sangat memanfaatkan potensinya yang menghibur.
Sebagai therapi sosial,
drama menghadapi masyarakat/massa sebagai mahluk hidup. Kelompok dihadapi
sebagai sebuah konsep yang hidup, punya watak, memiliki kebiasaan, punya
kecendrungan-kecendrungan psikologis, yang juga berkembang, berubah-ubah dan
mengalami pasang-surut emosi. Drama dapat menjelaskan apa yang harus dilakukan
terhadap satu kelompok masyarakat, agar tercapai hasil yang diinginkan oleh
kekuasaan.
Setiap satuan masyarakat tak
ubahnya pribadi-pribadi yang harus didekati sebagai pribadi. Kalau tidak ,
besar kemungkinan segala rencana yang hendak disosialisasi kan bisa gagal.
Dengan demikian jelas sekali
sebenarnya bagaimana penguasa/pemerintah dapat belajar banyak dari drama.
Bagaimana mengayomi, memberdayakan, mengarahkan dan pengerahkan masyarakat.
Konflik agama di satu
wilayah misalnya, kini dicoba diselesaikan dengan berbagai cara. Antara lain
dengan melakukan perkemahan bersama dan melakukan permainan-permainan (yang tak
ubahnya drama dalam bentuk yang paling sederhana) sehinga mendorong satu sama
lain menyadari, walaupun agama berbeda, mereka sebenarnya saudara.
Sudah sering disimpulkan
bahwa di mana ada keadaan yang bergolak, di situ akan subur hidup
kelompok-kelompok drama “bawah tanah”. Drama menampung suara-suara terpendam
masyarakat. Tapi sebenarnya suara-suara yang tidak terpendam pun, disuarakan
lewat drama, hanya saja karena formulasinya tidak menyerang atau mengeritik,
getarannya kurang.
Jadi boleh disimpulkan drama
adalah suara dari masyarakat yang dapat difungsikan oleh negara sebagat alat
berdialog yang efektif dengan rakyatnya. Drama adalah refleksi dan aspirasi
dari rakyat.
Pada tahun 1974 Dewan
Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Teater Remaja untuk Jakarta yang
sampai sekarang terus berlangsung. Tak kurang dari 114 kelompok teater dari 5
wilayah Jakarta yang mendaftar. Kesibukan akbar itu, tak seluruhnya menampilkan
pertunjukan-pertunjukan yang bagus. Banyak di antaranya kualitasnya amat
bersahaja, karena hanya ditunjang oleh spontanitas dan keberanian. Tetapi dari
pertunjukan-pertunjukan dalam festival itulah dapat terlihat profil remaja
Jakarta pada saat itu.
Sebuah museum mengenalkan
kita kepada sejarah. Tetapi sebuah pertunjukan drama menyingkap apa yang sedang
ada di sekitar. Drama seperti sebuah museum hidup untuk memahami apa yang
sedang terjadi. Kalau toh bukan seluruh fenomena, sebagian atau
puncak-puncaknya yang terpenting.
Pernyataan itu tidak lagi
merupakan sebuah premis yang harus dibuktikan, tapi sudah merupakan kenyataan.
Tinggal sejauh mana negara akan berniat, berhasrat dan berdaya memanfaatkannya.
Berpulang pada berapa jauh usaha dari orang-orang teater sendiri. Utamanya para
pemikir-pemikir teater. Seberapa jauh mereka dapat membuktikan kemanfatan drama
di samping faktor menghiburnya.
Bicara tentang
pemikir-pemikir drama di Indonesia ada masalah, karena orang-orangnya tak ada.
Masih sedikit sekali ahli yang mengkhususkan perhatiannya pada drama. Di
Indonesia sampai makalah ini ditulis, doktor untuk bidang drama hanya 2 atau 3
orang saja. Akibatnya pertumbuhan pemikiran drama terhambat karena tidak
ditopang oleh perangkat lunaknya.
Tak suburnya kehidupan
pemikiran atas dunia teater sudah menyebabkan teater kehilangan pamor. Dalam
kepustakaan Indonesia, pernah hanya ada satu buku referensi drama yang penting,
yakni “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor”, karya Bolelavsky yang
diterjemahkan oleh Asrul Sani. Sekitar 15 tahun buku itu berjalan sendiri dan
juga tidak termasuk buku yang laku.
Kemudian muncul buku Tentang
Bermain Drama oleh WS Rendra. Baru setelah itu menyusul buku-buku lain. Tapi
sampai sekarang belum ada satu buku pun tentang drama karya orang Indonesia
yang sungguh-sungguh melihat drama sebagai ilmu.
Dengan demikian dapat
dimengerti drama hanya dianggap sebagai hiburan. Lebih parah lagi, sebagai
dagelan. Padahal sebagai seni kolektif yang ditunjang oleh seluruh cabang
kesenian dan berbagai cabang ilmu (antara lain ilmu jiwa, sosiologi, politik,
sejarah, filsafat) drama adalah pengetahuan. Buku-buku yang berisi telaah dan
pemikiran tentang drama sudah tak terhitung. Drama tak hanya ditonton tetapi
bagian dari dunia intelektual yang diperdebatkan oleh para doktor dan
professor.
Bila pemikiran-pemikiran
pada drama dapat dirangsang, akan semakin jelas nanti hubungan drama dengan
pembangunan manusia dan kemajuan negara. Bukan tidak mungkin drama akan menjadi
prioritas penting dalam rancangan anggaran belanja negara, karena peranannya
dalam pendidikan dan pembangunan sangat penting.
Pendidikan tinggi dan
akademi kesenian yang kini lebih banyak melahirkan seniman harus beringas untuk
mencetak pemikir-pemikir teater. Sudah amat dibutuhkan cahaya matahari untuk
menyingkap ilmu yang tersimpan beku di dalam drama. Hanya apabila itu
dilakukan, drama atau teater akan menunjukkan arti yang sebenarnya dalam
kehidupan dan kehidupan negara. Teater bukan hanya teater tetapi juga ilmu
pengetahuan.
KEBANGKITAN TEATER
URBAN
Jakarta yang diciri dengan
budaya Betawi, seringkali tidak terasa sebagai sebagai Betawi lagi. Banyak
penduduk yang dianggap sebagai orang Betawi, sudah bergeser ke daerah pinggiran
Jakarta dan hidup berbaur dengan masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok
etnik di Nusantara. Sementara para pendatang yang sudah merasa Jakarta sebagai
“tumpah-darah”nya itu sendiri, hidup di Jakarta dengan sebagian adat-istiadat,
tradisi, pendeknya budaya asalnya. Jakarta pun menjadi semacam piring yang
menampung berbagai latar budaya dan kemudian memaketnya menjadi semacam
gado-gado.
Dalam apa yang disebut
gado-gado, segala macam bisa masuk dan berbaur. Toh itu tidak berarti bisa
ngawur dan seenaknya. Tetap ada benang merah yang membuat ia “layak” disebut
gado-gado yang berbeda dengan ketoprak atau salad bahkan berbeda dengan apa
yang disebut di Jogya pecel. Ada semacam estetika, semacam bingkai, semacam
karakterisasi yang membuat gado-gado menjadi “gado-gado”. Karena ada rasa khas
dan otentik baru sah bernama gado-gado. Jadi dalam kekacauannya ada
keteraturan. Keteraturan di dalam kekacauan.
Betawi sendiri juga di dalam
sejarahnya sebagai sebuah kota pelabuhan terbentuk dalam sebuah proses
gado-gado yang mencampurkan berbagai unsur sehingga menjadi Betawi. Dan hingga
kini masih terus berproses untuk terus menumbuhkan bentuk dan karakternya
karena sudah tidak bisa dibendung lagi oleh serbuan para pendatang. Apa boleh
buat Jakarta dianggap sebagai sumber rezeki dan puncak kerucut. Suka tidak
suka, Jakarta sudah jadi idola, karena jadi pusat perdagangan, pusat
pemerintahan dan pusat budaya. Jakarta sudah menjadi dapur dan lab
(setidak-tidaknya salah satu) dalam menuju apa yang disebut Indonesia.
Dalam Festival Teater Remaja
pada 1974, dari sekitar 114 kelompok teater dari 5 wilayah ibukota, gejala
keberagaman itu nampak jelas. Masing-masing wilayah seperti menitipkan atau
mencipratkan peta budayanya lewat penampilan di panggung. Tanpa ada penugasan
resmi, kelompok teater itu seperti duta budaya yang mengenalkan, mempromosikan,
memproklamirkan dan memprovokasikan kehadiran dari wilayahnya.
Dalam kegiatan festival
selanjutnya, dari penampilan-penampilan itu kita segera bisa mengenal asal
wilayah mereka , Selatankah, Utarakah, Baratkah, Timurkah, atau Jakarta
Pusatkah.
Tapi dari Selatan juga tak
selamanya Selatan. Tanpa dipantek oleh wilayah para pekerja teater itu kemudian
membuat festival menjadi semacam pasar atau lalu-lintas di mana mereka bisa
berpindah-pindah meloncat dari wilayah ke wilayah. Interaksi yang terjadi di
dalam festival, mengocok lagi lima benua di dalam festival, sehingga menjadi
lebih tak teratur lagi.
Ciri Selatan menular ke
Utara dan sebaliknya, sehingga dalam babak kedua Festival Teater Remaja, bukan
lagi wilayah yang membagi, tetapi warna, pendidikan dan juga kondisi sosial.
Maka pemilahan horisontal bertambah lagi ragamnya dengan pemilahan vertikal.
Dengan melihat pertunjukan kita tidak saja bisa menebak dari wilayah mana
kelompok itu datang, juga di strata mana masyarakat teater itu hidup.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Festival Teater Remaja yang berubah nama menjadi Festival Teater
Jakarta, tumbuh lagi menjadi tak hanya sekedar alat untuk berekspresi dan
bereksistensi, tetapi juga berkiblat. Setelah beberapa kelompok berhasil
menjadi senior (karena 3 kali menang) namun dalam kenyataannya belum mampu
bersaing dengan kelompok senior seperti Bengkel Teater, Teater Kecil dan Teater
Populer, ada lagi yang menarik. Hanya satu dua kelompok tersebut yang benar-benar
bisa bertahan hidup. Mereka pecah, mati atau pinsan dengan berbagai alasan.
Yang tetap hidup adalah
kelompok yang memiliki keyakinan khusus pada teater sebagai alat untuk
berdialog. Dan itu ternyata khususnya yang memiliki tokoh sentral yang kuat.
Dan pada kenyataannya, tokoh sentral selalu mengibarkan “idiologi teater”nya.
Panutan, ciri, estetika dan pandangan hidup itulah yang kemudian membuat teater
itu bertahan sebagai sebuah pribadi yang meruang dan berkembang dalam blantika
teater.
Kita seperti melihat sebuah
garis diagonal, karena di samping wilayah, strata sosial, teater juga dapat
menunjuk pada apakah di situ ada tokoh sentral (dan idiologi) yang menjadi
semacam “pemimpin spiritual” pada kelompok tersebut. Garis-garis ini akan terus
tumbuh. Yang bisa kita catat dari pertumbuhan garis-garis itu adalah bahwa,
andaikan sebuah kertas putih yang sedang digambar, lukisan itu terus bergerak.
Entah menyempurnakan diri dan menjadi lebih artistik, atau malah semrawut dan
kacau. Dan peralihan-peralihan itu frekuensi dan eksalarinya tak bisa ditebak,
karena tidak mengikuti irama yang pasti sebagaimana umumnya terjadi dalam
masyarakat urban.
Pada usia ke-34 tahun, ada
dua hal yang kita jumpai dalam babak final Festival Teater Jakarta. Bila
bertemu dengan pementasan yang bagus, kita mau tak mau akan bilang ya, kemajuan
itu sudah selayaknya, karena sudah 34 tahun. Seorang manusia dalam usia 34
tahun, ada yang sudah punya cucu. Tapi sebaliknya bila bertemu dengan
pementasan yang buruk dan di bawah standar, kita akan kecewa lalu mengeluh, apa
saja yang sudah dipelajari selama 34 tahun. Untuk apa festival kalau hasilnya
hanya beginian?
Komentar serta pertanyaan di
atas, dua-duanya tidak salah, karena ada alasannya. Yang mungkin dilupakan
adalah bahwa itu sebenarnya bukan komentar dan pertanyataan yang terpenting.
Apa betul ada standar baku yang dapat dipakai untuk membandingkan gado-gado
dengan ketoprak, pecel atau salad? Apa mungkin masih bisa diadakan sebuah
festival yang bersifat umum dalam teater urban?
Rasanya jauh lebih mudah
kalau ruang disempitkan, misalnya menjadi Festival Teater Remaja Realis. Atau
Festival Teater Eksperimental. Atau Festival Teater Anak-Anak Untuk Pendidikan.
Penyempitan seperti itu akan melahirkan standar. Dengan standar karya yang satu
gampang dibandingkan dengan karya yang lain.
Tetapi kita tahu tidak hanya
“gampang” yang hendak kita kejar. Seringkali dalam “gampang” sendiri
bersembunyi kebodohan. Kita tidak tahu seluruhnya, sehingga terasa gampang.
Kerepotan festival bukan hanya sekedar pesta tapi adalah upaya untuk naik ke
peringkat yang lebih tinggi.
Kita berlari bukan sekedar
demi kesehatan tetapi mengejar yang terbaik. Bila itu sulit, itu berarti kita
harus menata diri dan bersiasat mencari jalan untuk menemukannya, tak hanya
berpaling mencari yang lebih gampang. Teater urban adalah bagian dari kenyataan
kita. Kalau ada yang terasa tak nyaman, berarti ada yang salah posisi yang
harus kita pelajari lalu diperbaiki. Barangkali masalah standar.
Di dalam kota seperti
Jakarta, standar tidak bisa lagi hanya ganda tetapi jamak. Berbagai katagori
dengan segala aspek yang disangkutnya serta bermacam-macam kepentingan yang
hendak disodoknya, membuat penilaian menjadi tidak mudah. Lebih sulit lagi,
karena lembaga kritik, pilar besar kehidupan teater yakni pertumbuhan pemikiran
teater, tidak hidup. Karena teater hanya dianggap sebagai hiburan, bukan ilmu.
Tanpa adanya kehidupan
pemikiran, tanpa ada ruang berpikir di dalam teater, maka apa yang tadi sudah
kita lihat sebagai kesulitan menjadi bertambah semrawut. Lalu kita kehilangan
arah. Dalam kehilangan arah memang apa yang gampang dipegang kita jadikan
tongkat penyelamat. Itu pembunuhan teater. Kita harus rela berkeringat,
berkorban dan ingin tahu lebih banyak, karena yang kita tahu tentang teater
mungkin masih terlalu sedikit dan terlalu sempit lingkupnya.
Bila ruang pemikiran mulai
dipikirkan, dibiayai, ditumbuhkan, diberikan berkembang, teater urban tidak
lagi akan nampak hanya sebagai kekacauan pencarian, atau pekerjaan setengah-setengah,
atau masakan setengah matang, tetapi sesuatu yang konkrit dan bisa
dipertanggungjawabkan. Bukan sesuatu yang ngawur, bukan hanya kesenangan atau
kesewenang-wenangan, tetapi pemikiran, perhitungan, perencanaan dan perjuangan
yang sangat jelas agendanya.
Teater Indonesia cukup
banyak aksi tetapi kekurangan perenungan. Kini kita memerlukan kyai-kyai
teater. Para pengamat, pemikir dan saksi. Para pemerhati itulah yang akan
memberikan tafsiran jernih dan membawa kehidupan teater urban, tidak sesat perjalanannya,
karena ditidih sebagai barang sesat. Teater urban adalah spesies yang waras dan
utuh dengan segala keunggulan, kekurangan dan cacadnya tentu saja.
Teater adalah refleksi dari
eksistensi kita dan peta dari era yang sedang kita jalani. Bukan teater itu
yang harus kita ragukan tetapi diri kita sendiri. Barangkali kitalah yang belum
mampu memainkan peran kita dengan pas sebagai penduduk kota. Bukan teater urban
yang harus kita bawa ke dokter untuk diperiksa kesehatan jiwa-raganya, tetapi
kita yang menyaksikan teater itu. Apakah kita sanggup untuk menikmati dan
menempatkan posisinya sebagaimana kodratnya dan bukannya memperkosa dengan
standar baku kita.
MEMERDEKAKAN TEATER
Menyabut ultahnya yang
ke-27, Teater Payung Hitam pimpinan Rahman Sabur menggelar seminar bertajuk:
Memerdekakan Teater. Saya sudah bersiap untuk hadir, tetapi ada serangan fajar
yang menyebabkan saya hanya bisa bertanya-tanya (namun akan tampil malamnya
dengan monolog)
Apa betul teater tidak
merdeka? Belum merdeka? Atau kurang merdeka? Sehingga perlu dimerdekakan.? Atau
dihalau, dihasut, dipaksa, diteror supaya merdeka? Apakah orang-orang teater
selama ini merasa tertindas, sumpek, terpasung, diamputasi, terbetot hingga
perlu mengepalkan tangan, mengibaskan bendera lalu menggebrak: Merdeka!
Apa sebenarnya yang
dimaksudkan dengan merdeka? Apakah ketika Rendra ditangkap, Teater Koma
dilarang mentas, pertunjukan Sardono dilempari telor busuk, poster Teater Kecil
diturunkan, pimpinan Teater Mandiri dipanggil ke Komdak, naskah Domba-Domba
Revolusi dilarang, izin pertunjukan disamakan dengan izin keramaian, berarti
kemerdekaan teater sudah tergerus?
Teater sendiri itu apa?
Gedung pertunjukan? Kelompok teater? Sandiwara? Segala macam tontonan? Termasuk
peristiwa spektakuler yang melibatkan dunia seperti Perang Dunia, Resesi,
Globalisasi, Nine Eleven, Jones di Guyana, Pembantaian di Tianamen? Teror Bom
Bali?
Apa ke dalamnya tercakup
semua ulah ke”pura-puraan” dan cipoa? Termasuk tingkah laku para politisi,
wakil rakyat dan para penipu yang ngibul masyarakat dengan keji dan
semena-mena? Termasuk juga kisah kemenangan teknologi, pendaratan manusia di
bulan dalam masa Perang Dingin Uni Sovyet versus Amerika? Termasuk misteri
tentang Dewan Jendral?
Teaterkah kasus Raja Kubu,
Bayi Ajaib, Berlian Sebesar Kelapa, Isyu Harta Karun oleh Mentri Agama dan
segala kebodohan yang sudah merolok-olok bukan hanya rakyat awam/jelata tetapi
juga para pejabat negara? Bagaimana dengan kisah Sumanto yang memakan mayat
neneknya? Ibu muda yang membunuh anaknya sendiri di Malang, karena cemas pada
masa depannya? Bagaimana dengan Mbah Marijan yang menolak diungsikan ketika
gunung Merapi meletus? Apa Mbah Surip yang menjual lagu Tak Gendong-Gendong
dengan harga 4,5 milyar juga teater?
Apakah demam Caleg, deklarasi
jadi Capres , RUU APP, tindakan penutupan pameran foto dan swiping yang
dilakukan FPI, pemberedelan majalah TEMPO, reformasi 1968, pengunduran diri
Suharto, pembunuhan berantai dengan mutilasi yang dilakukan lelaki gay itu
semua teater?
Bakul jamu, untuk menjual
obat kuat cula badak atau tangkur buaya dimulai dengan pukul gendang, main
sulap dan mengeluarkan ular. Kita asyik menonton dan terpukau oleh bualannya,
lalu bagaikan kena sihir membeli obat palsunya. Kita sudah tertipu, tetapi
senang. Kita menyebut itu teater.
Kita beli karcis, untuk
menangis, tertawa dan marah-marah dalam teater. Kita membicarakan bahkan bisa
bertengkar keras buat apa yang tidak betul-betul terjadi. Kita menyebutnya
teater. Kita melihat pembukaan olimpiade Barcelona, tour akbar Michael Jackson
dan prosesi kematiannya yang sangat teateral.
Apakah binatang-binatang
yang lari ke bukit, air laut yang tiba-tiba surut, lalu menggebrak lagi dengan
ombak setinggi pohon kelapa dalam tsunami di Nongroe Aceh Darussalam, yang
dibayar lebih dari seratus ribu nyawa itu, teater? Apakah Perang Bubat,
pembantaian utusan Khu Bhi Lai Khan, pembunuhan yang dilakukan Ken Arok agar
bisa mempersunting Ken Dedes itu teater?
Bagaimana dengan lumpur
panas Situbondo? Demam berdarah, flue babi? Orasi budaya, pidato-pida
kenegaraan, ulah para pialang di bursa efek, renungan suci dan kasus TKW
Nirmala Bonar, Manohara, tangan emas Maradona di lapangan hijau, apa semua itu
teater?
Goenawan Mohamad menyebut
Golput yang digerakkan oleh Arief Budman adalah Teater Arief Budiman.
Berikan aku sebuah ruang
kosong, suruh satu orang melintas dan teater sudah terjadi, kata Peter Brooke.
Segala bentuk upacara, termasuk pengibaran bendera adalah teater, kata Richard
Sechner. Dunia adalah “panggung sandiwara”, bunyi lirik lagu Taufiq Ismail yang
dinyanyikan Ahmad Albar.
Teater tidak hanya apa yang
digelar dalam gedung, tapi apa saja yang terjadi yang menyerakkan situasi
dramatik di halaman, di jalan, di gua-gua, di bawah langit terbuka ini, adalah
teater. Orang tidur dan mayat juga sudah jadi teater. Teater tidak lagi harus
menunggu lahirnya naskah karena teater sudah dibebaskan dari karya sastra.
Bahkan hanya dengan sebuah kotak berisi barang-barang bekas, PM Toh meneruskan
tradisi bertutur Aceh mempersembahkan teaternya.
Rendra pada 1967 dengan
Bengkel Teater sudah menyunat kata-kata dari teater dengan pertunjukan mini
kata. Teater Mandiri pada 1974 sama sekali tanpa kata, tanpa plot dan tanpa
pesan moral. Di layar kaca digelar tontonan Republik Mimpi yang mengolok-olok para
pejabat. Para rupawan sudah membuat instalasi yang adalah teater. Butet
Kertarajasa melemparkan monolog yang menyerang capres di hari kesepakatan untuk
damai menjelang pilpres 09 yang kemudian menjadi teater di media massa.
Teater yang padan katanya sandiwara
(kabar yang dirahasiakan) memang sebuah penipuan, tetapi yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dengan mengerahkan jiwa-raga pelakunya, sehingga tercipta dunia
maya yang dirasuki oleh penonton sebagai sebuah realita. Bahkan sering lebih
“nyata”/lebih merasuk dari realitanya sendiri.
Di mana ada situasi yang
memperkosa kebebasan, keadilan dan kemanusiaan, di situ bergelora dengan
semaraknya teater-teater bawah tanah, papar riset tentang kehidupan teater.
Benarkah teater bukan saja tidak pernah diam juga tidak pernah mati? Kalau
begitu, bagaimana mungkin dia belum merdeka?
Kalau teater sudah merdeka,
tidak pernah tidak merdeka, lalu apa perlunya lagi teriakan merdeka dalam
teater? Coba apa yang tidak bisa dilakukan di dalam kenyataan, yang tidak dimungkin
dalam teater? Bila apa saja yang tidak boleh, dapat diloloskan lewat teater,
teater adalah kemerdekaan itu sendiri! Untuk apa kemerdekaan dimerdekakan?
Apa orang-orang teater
sendiri sebenarnya yang sudah lupa bahwa teater itu merdeka? Bahwa teater
bahkan tidak pernah tidak merdeka. Kenapa sesuatu yang begitu mendasar bisa
dilupakan?
Apakah orang teater sudah
terlalu gembira, asyik, suntuk karena mereka sudah sempat menemukan sesuatu
yang baru, tetapi kemudian sengaja tak sengaja memberhalakannya? Akibatnya
tentu saja fatal, barang itu melilit habis mereka sendiri, sehingga perlu
berteriak: “Merdeka!”
Kalau begitu bukan teater
yang tidak merdeka, tetapi manusia-manusianya? Kalau bukan teater yang harus
dimerdekakan tetapi orang-orang teater, mengapa kita harus teriak: merdekakan
teater? Apakah orang-orang teater yang tidak merdeka itu, yang sudah membuat
teater tidak merdeka? Apakah orang-orang teater yang tidak merdeka itu, akan
akan dapat membuat teater kehilangan kemerdekaan?
Jakarta 30 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar