Wayang adalah
salah satu seni budaya Indonesia yang paling popular di Indonesia bila dibanding
karya seni budaya lainnya. Kesenian wayang berkembang terus dari masa ke
masa. Wayang merupakan salah satu kesenian yang mudah sebagai media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, hiburan dan bahkan kritik sosial.
Asal-usul wayang masih sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan dari pulau Jawa tetapi ada juga yang mengatakan berasal dari India. Namun menurut penilitian para ahli sejarah budayawan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang berasal dari pulau Jawa. Wayang sudah ada di Indonesia berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Meskipun cerita wayang yang sering dan popular di masyarakat adalah adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabhrata. Namun dalam pewayangan cerita itu sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan budaya dan falsafah asli Indonesia.
Dalam pewayangan, para dewa bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, namun ia sama dengan makhluk Tuhan lainnya yag kadang-kadang bertindak keliru dan bisa khilaf. Dalam cerita asli Ramayana dan Mahabharata tidak pernah ada tokoh Punakawan. Tokoh ini hadir asli merupakan ciptaan budayawan Jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik dan benar-benar jahat. Setiap makhluk pasti menyandang unsure kebaikan dan keburukan.
Asal-usul kesenian wayang yang juga sering masih menjadi tanda tanya hingga saat ini. Meskipun banyak penelitian dan bukti yang menyatakan bahwa kesenian wayang berasal dari Indonesia terutama pulau Jawa, namun hal ini masih menjadi obyek yang menarik untuk diteliti dan dikembangkan.
Dalam kitab Centini, asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang pertama kali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Memenang/Kediri. Sekitar abad ke-10, Raja jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambarana relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayanan sangat menarik perhatian sang Raja, karena Jayabaya temasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Kegiatan dan perkembangan penciptaan wayang semakin berkembang pada zaman Jenggala. Setelah Raja Jenggala, Sri Lembuami wafat, pemerintahan kemudian dipegang oleh puteranya yaitu Raden Panji Rawisrengga yang bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa, ia giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya kemudian dikumpulkan dan disimpan dalam peti. Selain itu diciptakan pula pakem cerita wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagai dalangnya.
Dalam pagelarn wayang tersebut juga diiringi dengan gamelan berlaras slendro. Para sanak keluarga Sri Suryawisesa lah yang membantu dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Setelah Sri Suryawisesa wafat, pemerintahan dipegang oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Semasa pemerintahannya, beliau giat menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang di daun lontar yang diciptakan oleh leluhurnya, dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar.
Perkembangan wayang selanjutnya adalah pada zaman Majapahit. Gambaran wayang di atas kertas pada masa itu disempurnkan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang gulungan tersebut saat akan dimainkan maka gulungan harus dibeber (dibentangkan). Maka, wayang ini kemudian biasa disebut wayang beber.
Setelah terciptanya wayang beber, wayang tidak hanya merupakan kesenian kraton, tetapi sudah meluas ke lingkungan luar istana meskipun sifatnya masih sangat terbatas. Masyarakat mulai bisa menikmati keindahan kesenian wayang meskipun dalam pertunjukkannya hanya diiringi alat musik Rebab dan lakonnya terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus upacara ruwatan.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, puteranya yang bernama Raden Sungging Prabangkara memiliki keahlian melukis. Bakat puteranya ini dimanfaatkan Raja Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan wayang disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh wayangnya, misalnya Raja, Ksatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan sebagainya. Perkembangan wayang beber saat itu semakin marak, dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menyukai seni karawitan dan pertunjukkan wayang.
masa. Wayang merupakan salah satu kesenian yang mudah sebagai media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, hiburan dan bahkan kritik sosial.
Asal-usul wayang masih sering menjadi perdebatan, ada yang mengatakan dari pulau Jawa tetapi ada juga yang mengatakan berasal dari India. Namun menurut penilitian para ahli sejarah budayawan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang berasal dari pulau Jawa. Wayang sudah ada di Indonesia berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Meskipun cerita wayang yang sering dan popular di masyarakat adalah adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabhrata. Namun dalam pewayangan cerita itu sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan budaya dan falsafah asli Indonesia.
Dalam pewayangan, para dewa bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, namun ia sama dengan makhluk Tuhan lainnya yag kadang-kadang bertindak keliru dan bisa khilaf. Dalam cerita asli Ramayana dan Mahabharata tidak pernah ada tokoh Punakawan. Tokoh ini hadir asli merupakan ciptaan budayawan Jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik dan benar-benar jahat. Setiap makhluk pasti menyandang unsure kebaikan dan keburukan.
Asal-usul kesenian wayang yang juga sering masih menjadi tanda tanya hingga saat ini. Meskipun banyak penelitian dan bukti yang menyatakan bahwa kesenian wayang berasal dari Indonesia terutama pulau Jawa, namun hal ini masih menjadi obyek yang menarik untuk diteliti dan dikembangkan.
Dalam kitab Centini, asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang pertama kali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Memenang/Kediri. Sekitar abad ke-10, Raja jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambarana relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayanan sangat menarik perhatian sang Raja, karena Jayabaya temasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Kegiatan dan perkembangan penciptaan wayang semakin berkembang pada zaman Jenggala. Setelah Raja Jenggala, Sri Lembuami wafat, pemerintahan kemudian dipegang oleh puteranya yaitu Raden Panji Rawisrengga yang bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa, ia giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya kemudian dikumpulkan dan disimpan dalam peti. Selain itu diciptakan pula pakem cerita wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagai dalangnya.
Dalam pagelarn wayang tersebut juga diiringi dengan gamelan berlaras slendro. Para sanak keluarga Sri Suryawisesa lah yang membantu dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Setelah Sri Suryawisesa wafat, pemerintahan dipegang oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Semasa pemerintahannya, beliau giat menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang di daun lontar yang diciptakan oleh leluhurnya, dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar.
Perkembangan wayang selanjutnya adalah pada zaman Majapahit. Gambaran wayang di atas kertas pada masa itu disempurnkan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang gulungan tersebut saat akan dimainkan maka gulungan harus dibeber (dibentangkan). Maka, wayang ini kemudian biasa disebut wayang beber.
Setelah terciptanya wayang beber, wayang tidak hanya merupakan kesenian kraton, tetapi sudah meluas ke lingkungan luar istana meskipun sifatnya masih sangat terbatas. Masyarakat mulai bisa menikmati keindahan kesenian wayang meskipun dalam pertunjukkannya hanya diiringi alat musik Rebab dan lakonnya terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus upacara ruwatan.
Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, puteranya yang bernama Raden Sungging Prabangkara memiliki keahlian melukis. Bakat puteranya ini dimanfaatkan Raja Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan wayang disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh wayangnya, misalnya Raja, Ksatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan sebagainya. Perkembangan wayang beber saat itu semakin marak, dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menyukai seni karawitan dan pertunjukkan wayang.
Pada masa itu, pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan
wayang merupakan kesenian yang haram karena berbau Hindu. Hal ini lah yang
justru kemudian memberikan pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan
kesenian wayang.
Untuk menghilangkan kesan yang berbau Hindu, maka muncullah gagasan baru untuk menciptkan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan keterampilan para pengikut Islam yang gemar akan kesenian wayang, terutama para Wali, maka berhasil diciptakan bentuk baru dari wayang yang terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditipiskan dengan wayang digambarkan miring, ukuran tangan lebih panjang dari ukuran tangan manusia. Wayang ini kemudian diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakainnya di cat menggunakan tinta.
Pada masa itu wayang mengalami perkembangan dan perubahan besar, selain bentuk wayang yang baru, teknik pakelirannya pun diganti menggunakan sarana kelir/layar, menggunakan pohon pisang sebagai tempat menancapkan wayang, menggunakan belonging sebagai sarana penerangan, dan menggunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang.
Diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Namun dalam pagelaran masih mengangkat cerita atau lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabharata, namun sudah mulai dimasukkan unsure dakwah. Sedangkan wayang beber yang merupakan sumber, kemudian dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipertunjukkan di luar lingkungan istana.
Untuk menghilangkan kesan yang berbau Hindu, maka muncullah gagasan baru untuk menciptkan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan keterampilan para pengikut Islam yang gemar akan kesenian wayang, terutama para Wali, maka berhasil diciptakan bentuk baru dari wayang yang terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditipiskan dengan wayang digambarkan miring, ukuran tangan lebih panjang dari ukuran tangan manusia. Wayang ini kemudian diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakainnya di cat menggunakan tinta.
Pada masa itu wayang mengalami perkembangan dan perubahan besar, selain bentuk wayang yang baru, teknik pakelirannya pun diganti menggunakan sarana kelir/layar, menggunakan pohon pisang sebagai tempat menancapkan wayang, menggunakan belonging sebagai sarana penerangan, dan menggunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang.
Diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Namun dalam pagelaran masih mengangkat cerita atau lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabharata, namun sudah mulai dimasukkan unsure dakwah. Sedangkan wayang beber yang merupakan sumber, kemudian dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipertunjukkan di luar lingkungan istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar